Kamis, 06 Mei 2010
Kamis, Mei 06, 2010 |
Diposting oleh
IMM FARMASI UAD |
Edit Entri
A. PENDAHULUAN
Manusia menurut istilah bahasa disebut sebagai insan. Dalam bahasa arab berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Jika dilihat dari kata dasar al-uns bermakna jinak. Kata insan digunakan untuk menyebut manusia, karena manusia itu sendiri memiliki sifat pelupa dan sangat jinak. Dengan dasar kata terebut diatas maka makna manusia secara umum adalah sosok individu yang selalu menyesuaikan diri (adaptasi) dengan sebuah keadaan baru dilingkungan sekitarnya. Cara keberadaan manusia tersebut sesungguhnya yang membedakannya secara nyata dengan mahluk lain.
Manusia menurut istilah bahasa disebut sebagai insan. Dalam bahasa arab berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Jika dilihat dari kata dasar al-uns bermakna jinak. Kata insan digunakan untuk menyebut manusia, karena manusia itu sendiri memiliki sifat pelupa dan sangat jinak. Dengan dasar kata terebut diatas maka makna manusia secara umum adalah sosok individu yang selalu menyesuaikan diri (adaptasi) dengan sebuah keadaan baru dilingkungan sekitarnya. Cara keberadaan manusia tersebut sesungguhnya yang membedakannya secara nyata dengan mahluk lain.
Seperti dalam kenyataan, dimana mahluk yang berjalan diatas dua kaki tersebut memiliki kemampuan berfikir sebagai penentu atas hakekat manusia itu sendiri. Manusia juga memiliki karya yang menjadi pembeda dengan mahluk lain. Karya manusia tersebut sejatinya dapat dilihat dalam rentang waktu sejarah dan keadaan psikologis yang berhubungan dengan situasi emosional dan intelektual. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan (creator) sejarah.
Sosok manusia juga dapat dilihat dari sisi teologis. Pandangan ini melengkapi gagasan sesudahnya dengan mengedepankan wilayah trasendensi (ketuhanan). Karenanya pemahaman ini lebih bersifat fundamental. Pengetahuan “Pencipta” tentang hasil ciptaan-Nya jauh lebih lengkap dan sempurna dari pada pengetahuan ciptaan sendiri (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999).
Berbicara tentang manusia, maka yang tergambar dalam semesta pemikiran kita sangatlah fariatif. Para filosof mengatakan bahwa manusia adalah hewan rasional (animal rasional). Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal symbolic. Dimana pernyataan tersebut berdasar pada kebiasaan manusia yang selalu mengkomunikasikan bahasa melalui makna dari simbol-simbol yang dibicarakan. Manusia juga dapat disebut sebagai homo sapiens yakni manusia arif yang memiliki akal budi dan mengungguli mahluk lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber (mahluk yang gila kerja). Hal tersebut dikarenakan manusia sebagai “tukang” yang selalu menciptakan dan menggunakan alat-alat untuk bekerja. Manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Dalam bermain, manusia memiliki ciri khas tersendiri yang menghiasi sebuah kebudayaan. Bermain disini merupakan kombinasi dari perilaku lucu dan menyenangkan. Dalam sejarahnya, permainan tersebut digunakan sebagai alat untuk memikat dewa-dewa, dan bahkan terdapat suatu budaya yang menganggap permainan tersebut sebagai ritus (ritual) suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005)
Sejatinya, manusia merupakan mahluk yang aneh. Keanehan manusia tersebut nampak pada dualisme keberadaannya dialam. Di satu sisi, ia merupakan “mahluk alami” seperti halnya dengan binatang yang memerlukan alam untuk bertahan hidup. Di sisi lain, ia harus berhadap-hadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing. Sehingga ia harus menyesuaikan kebutuhannya dengan alam itu sendiri.
Karl Marx menunjukkan adanya perbedaan mendasar antara manusia dengan binatang. Perbedaan itu dapat dilihat pada upaya keduanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, binatang akan secara langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja untuk hidup menjadi objek dari kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya sebatas pada apa yang butuhkan secara langsung bagi diri dan keturunannya saja. Sedangkan manusia berproduksi secara universal dan bebas dari kebutuhan fisik. Ia baru melakukan produksi sesuai dengan kebebasan dan kebutuhannya. Manusia berhadapan secara bebas dengan produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya. Manusia berproduksi munurut berbagai jenis ukuran dengan objeknya yang inheren, karenanya manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam melakukan aktivitas bekerja melalui mekanisme yang bebas dan universal. Dalam arti lain, bebas bekerja sesuai dengan kehendak hati, meskipun tidak merasakan kebutuhannya secara langsung. Serta sifat universal manusia dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak lain, ia dapat menghadapi alam yang tidak hanya sebatas dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu, Karl Marx menganggap bahwa manusia hanya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal tersebut (Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.(Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Sosok manusia juga dapat dilihat dari sisi teologis. Pandangan ini melengkapi gagasan sesudahnya dengan mengedepankan wilayah trasendensi (ketuhanan). Karenanya pemahaman ini lebih bersifat fundamental. Pengetahuan “Pencipta” tentang hasil ciptaan-Nya jauh lebih lengkap dan sempurna dari pada pengetahuan ciptaan sendiri (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999).
Berbicara tentang manusia, maka yang tergambar dalam semesta pemikiran kita sangatlah fariatif. Para filosof mengatakan bahwa manusia adalah hewan rasional (animal rasional). Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal symbolic. Dimana pernyataan tersebut berdasar pada kebiasaan manusia yang selalu mengkomunikasikan bahasa melalui makna dari simbol-simbol yang dibicarakan. Manusia juga dapat disebut sebagai homo sapiens yakni manusia arif yang memiliki akal budi dan mengungguli mahluk lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber (mahluk yang gila kerja). Hal tersebut dikarenakan manusia sebagai “tukang” yang selalu menciptakan dan menggunakan alat-alat untuk bekerja. Manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Dalam bermain, manusia memiliki ciri khas tersendiri yang menghiasi sebuah kebudayaan. Bermain disini merupakan kombinasi dari perilaku lucu dan menyenangkan. Dalam sejarahnya, permainan tersebut digunakan sebagai alat untuk memikat dewa-dewa, dan bahkan terdapat suatu budaya yang menganggap permainan tersebut sebagai ritus (ritual) suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005)
Sejatinya, manusia merupakan mahluk yang aneh. Keanehan manusia tersebut nampak pada dualisme keberadaannya dialam. Di satu sisi, ia merupakan “mahluk alami” seperti halnya dengan binatang yang memerlukan alam untuk bertahan hidup. Di sisi lain, ia harus berhadap-hadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing. Sehingga ia harus menyesuaikan kebutuhannya dengan alam itu sendiri.
Karl Marx menunjukkan adanya perbedaan mendasar antara manusia dengan binatang. Perbedaan itu dapat dilihat pada upaya keduanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, binatang akan secara langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja untuk hidup menjadi objek dari kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya sebatas pada apa yang butuhkan secara langsung bagi diri dan keturunannya saja. Sedangkan manusia berproduksi secara universal dan bebas dari kebutuhan fisik. Ia baru melakukan produksi sesuai dengan kebebasan dan kebutuhannya. Manusia berhadapan secara bebas dengan produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya. Manusia berproduksi munurut berbagai jenis ukuran dengan objeknya yang inheren, karenanya manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam melakukan aktivitas bekerja melalui mekanisme yang bebas dan universal. Dalam arti lain, bebas bekerja sesuai dengan kehendak hati, meskipun tidak merasakan kebutuhannya secara langsung. Serta sifat universal manusia dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak lain, ia dapat menghadapi alam yang tidak hanya sebatas dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu, Karl Marx menganggap bahwa manusia hanya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal tersebut (Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.(Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002).
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
B. HAKEKAT MANUSIA
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)
Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus;
“ Ruh Tuhan + Lempung Busuk => Manusia”
Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan.(‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001)
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.
Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.
C. KEDUDUKAN DAN PERAN MANUSIA
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.
D. TUJUAN HIDUP MANUSIA
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga mi'raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga mi'raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.
C. KEDUDUKAN DAN PERAN MANUSIA
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.
D. TUJUAN HIDUP MANUSIA
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga mi'raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga mi'raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EVENT
MUSYAWARAH KERJA
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011
Sabtu & Ahad
4 & 5 Maret 2011
13.00 - 18.00 & 09.00 - Selesai
Ruang 204 Kampus III UAD & Wisma Damar
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011
Jum'at
4 Maret 2011
13.00 - 18.00
Ruang 303 Kampus III UAD
PELANTIKAN PIMPINAN KOMISARIT IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011
Sabtu
5 Februari 2011
16.00
Ruang 203 UAD
FROM ADMIN
Bagi teman - teman yang ingin menyumbangkan tulisan ke dalam blog ini dapat mengirimkannya ke immfarmasiuad@ymail.com.
TERIMA KASIH
TERIMA KASIH
Blog Archive
RUBRIKASI
- CERITA TENTANG GERAKAN SOSMAS (1)
- DISCUSION REVIEW (2)
- EKOSOB (1)
- FILSAFAT (2)
- IBADAH (1)
- INFO - PERS RELEASE AKSI (2)
- KEFARMASIAN (3)
- KEMUHAMMADIYAHAN (1)
- MANIFESTO INTELEKTUAL PROFETIK (11)
- PUISI (18)
- RESENSI-BEDAH BUKU (1)
- RUANG TAFAKUR (3)
- TEKS IDEOLOGI (13)
- TOKOH DAN SOSOK (2)
- WAWASAN UMUM (1)
0 komentar:
Posting Komentar