SEBAGAI HADIAH MALAIKAT MENANYAKAN, APAKAH KAMI INGIN BERJALAN DI ATAS MEGA. DAN KAMI MENOLAK, KARENA KAKI KAMI MASIH DI BUMI SAMPAI PENYAKIT TERAKHIR DISEMBUHKAN, SAMPAI KAUM DHU`AFA DAN MUSTAD`AFIN DIANGKAT TUHAN DARI PENDERITAANNYA
Sabtu, 01 Mei 2010
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) merupakan salah satu organisasi otonom (ortom) yang bernaung dibawah payung besar Muhammadiyah. Sebagai ortom, sejatinya “hiden mission” IMM merupakan katalisator dari organisasi induknya, Muhammadiyah. Hal ini telah termaktub dalam Anggaran Dasar (AD) IMM bab II pasal 6 yang menjelaskan adanya tujuan didirikannya organisasi tersebut. Tujuan suci lahirnya IMM dari rahim sejarah adalah mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.

Dengan dasar dan tujuan IMM yang telah ditetapkan tersebut, selanjutnya ditransformasikan kedalam cita-cita dan mimpi besar dari masing masing kader. Mimpi tersebut mekar menjadi spirit tiap individu kader untuk berproses dalam menjalankan kehidupan sosial. Pendek kata, secara organisatoris IMM menghendaki terbentukya akademisi Islam yang men-support total energi intelektual Muhammadiyah kelak.

Sebagai penyumbang kader cendekiawan muslim bagi Muhammadiyah, IMM disini memiliki tugas yang sangat berat. Bagaimana tidak, rekayasa genetik dengan berbagai macam eksperimentasi yang hendak dijalankan oleh IMM tersebut dituntut untuk selalu memberi iklim keilmuan bagi anggota, kader dan mahasiswa pada umumnya. Melalui iklim keilmuan tersebutlah gerakan IMM saat sekarang dikonsentrasikan sebagai upaya sadar dalam menjumbuhkan – meminjam istilah Kuntowijoyo – masayarakat Ilmu. Masyarakat ilmu yang cenderung bersifat ilmiah, rasional dan melakukan praxis kemanusiaan.

Pilihan gerakan IMM bidang keilmuan tersebut yang sesungguhnya menjadi alat pembeda (al-furqon) dengan organisasi kemahasiswaan lainnya disamping juga ortom di lingkungan Muhammadiyah sendiri. Latar belakang gerakan IMM dalam ranah keilmuan telah menjadi pilihan sadar institusi dalam membaca kebutuhan dasar organisasi yang seringkali dihadapkan dengan logika akademisi dengan sifat ilmiah, dan bukannya emosional. Gerakan ilmu yang dimiliki oleh IMM ini dikreasikan dalam bentuk tradisi (budaya) serta etos kerja yang tinggi oleh tiap-tiap kader dalam menggoreskan bingkai perjalanan sejarah institusi.


MENGGALI MAKNA SIMBOLIK IMM

Manusia merupakan mahluk simbolis (homo simbolicum) yang dalam perbuatan dan perilakunya membentuk adanya simbol-simbol dalam membaca dan memahami sesuatu keadaan. Oleh karenanya, memerlukan metode atau tafsir lain dalam upaya memahami signifikansi dari makna atau arti simbol yang telah komunitas tersebut ciptakan. Simbol yang ada pada diri manusia atau sebuah komunitas tentunya sangat diperlukan. Hal itu berfungsi sebagai wujud pengenalan diri atau komunitasnya dengan yang lain.

Begitu pula dengan sebuah organisasi, adanya simbol tersebut justru digunakan sebagai media pencitraan diri sebuah komunitas agar nampak berbeda dengan kelompok lainnya. Misalnya saja, Komunitas Tarbiyah yang saat sekarang sedang “genit” sebagai pekerja politik dari salah satu parpol. Organisasi tersebut mengkreasikan pencitraan komunitas mereka dengan munculnya sejumlah “pertanda” yang dimiliki masing-masing kadernya. Pertanda yang dapat membedakan seorang kader gerakan tarbiyah itu tercermin dalam pakaian yang selalu mereka kenakan sehari-hari disertai dengan corak homogenitas pemikiran keagamaan. Simbol yang mereka ciptakan tersebut merupakan alat atau media untuk mempersatukan emosi (batin) anggotanya.

Pun juga demikian halnya dengan IMM. Organisasi ini juga memiliki semboyan atau jargon yang selama ini cukup dikenal dan kian tertanam dalam setiap diri kadernya. Melalui jargon institusi yang berbunyi “Anggun dalam Moral, Unggul dalam Intelektual”, IMM sejatinya tidak begitu sukar untuk membentuk iklim intelektual dan moralitas tinggi dalam komunitasnya. Iklim intelektual dan moralitas tinggi tersebut juga dijadikan sebagai wahana indoktrinasi dari spirit masing-masing kader dalam menapakkan jejak langkah dipentas peradaban.

Dalam sejarahnya, jargon institusi yang dimiliki IMM tersebut merupakan lambang atau motto yang sejak awal telah digunakan oleh para santriwati di madrasah Mu’alimat Muhammadiyah Yogyakarta. Dus selanjutnya motto tersebut diadopsi sebagai jargon institusi IMM. Pengadopsian tersebut dikarenakan adanya suatu gaya bahasa yang cukup sederhana, mudah diingat, filosofis dan tentunya memiliki arti yang sangat mendalam bagi perkembangan iklim intelektual organisasi.

Namun dalam perjalanannya, semboyan atau jargon tersebut telah dikritisi sebegitu tajam oleh sekian banyak kader IMM. Upaya kritisisasi itu sejatinya telah dilakukan oleh para kader sejak berada dalam Pimpinan Komisariat (PK) hingga terakhir kali ditindak lanjuti dalam Musyawarah Daerah Dewan Pimpinan Daerah (Musyda DPD) IMM Yogyakarta ke-XII di Puslitbang, Kali Urang. Jargon IMM “anggun dalam moral dan unggul dalam intelektual” jika dinilai secara struktur kalimat sejatinya tidak memiliki masalah yang berarti. Karena, jargon yang memiliki dua kalimat tersebut merupakan kata majemuk yang coba untuk digabungkan dan memiliki pemaknaan secara utuh dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Tetapi jika dilihat dengan menggunakan logika atau alur berfikir filosofis, maka kalimat majemuk itu akan saling bertentangan atau saling tumpang tindih maknanya. Sebagaimana dalam alur logika filsafat, dimana satu kesatuan kalimat dimaknai secara sistematis dalam berbicara tentang wilayah ontologi, epistemologi dan axiologi. Melalui alur logika tersebut kiranya dapat dianalisa bersama bahwa frase “anggun dalam moral” merupakan bagian dari wujud axiologi yang berisi tentang nilai etika dan estetika. Sedangkan “unggul dalam intelektual”, merupakan wilayah epistemologi yang mengkaji tentang sumber pengetahuan dan bagaima cara memperoleh pengetahuan itu.

Kata intelektual disini merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan yang tinggi, sedangkan moral dalam kata anggun merupakan wilayah axiologi. Berangkat dari ketimpangan dua struktur kata tersebut akan sangat susah untuk lebih jauh ditelaah tentang bagaimana cara mengetahui makna “baik” dan “buruk” apabila tidak dikenal terlebih dahulu tentang definisi kedua kata tersebut serta bagaimana cara memperolehnya. Sehingga secara filosofis dapat diketemukan bahwa struktur kalimat dalam jargon IMM tersebut tidak memiliki sistematika yang jelas dan terdapat kerancuan penggunaan logika berfikir dari semboyan institusi yang telah lama ditetapkan itu.

Oleh sebab itu dibutuhkan ketajaman analisa dalam melakukan pembenahan (rekonstruksi) atas jargon institusi secara sistematis dan terstruktur itu. Untuk melakukan sistematika pemikiran dalam jargon IMM tersebut, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah pembalikan frase yang ada dalam struktur kalimat. Dalam arti lain, jargon IMM yang dahulunya digaungkan dengan anggun dalam moran, unggul dalam intelektual dibalik menjadi unggul dalam intelektual, anggun dalam moral. Pembalikan struktur kalimat tersebut merupakan wujud dari telaah institusi dalam membaca kecenderungan tumpang-tindihnya makna jargon organisasi. Kalimat majemuk diatas diangkat dari dasar filsafat yang terdiri dari epistemologi dan axiologi.

Sebagai bagian dari salah satu gerakan mahasiswa, IMM juga membutuhkan adanya pemicu semangat kader dalam melakukan praksis gerakan. Untuk itu, dipandang perlu adanya jargon tambahan yang menjadi spirit kader dalam mempraksiskan pola gerak ideal yang didasari dari model gerakan radikal. Penambahan kata radikal dalam gerakan di jargon IMM merupakan wujud dari tindakan praxis untuk melakukan transformasi sosial. Radikal memiliki arti secara mengakar, menyeluruh dan mendalam.

Dengan penggabungan kata unggul dalam intelektual, anggun dalam moral dan radikal dalam gerakan sesungguhnya harapan IMM secara institusi dalam membina tindakan kader progressif-nya haruslah diilhami dari suatu gagasan yang bersifat mendalam dan menyeluruh serta praxis dalam gerakan. Keterkaitan antar kata dalam semboyan itu bersifat saling berkelindan dan tidak dapat dipisahkan. Wujud dari adanya penggabungan tiga kata tersebut dapat digambarkan dengan sederhana, dimana seorang kader IMM adalah insan yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan moral dan cenderung melakukan aksi nyata (praxis). Hal ini tentunya dapat tercermin dalam perilaku kader sehari-hari. Pembenahan terhadap semboyan IMM tersebut mengajak sosok kader dalam mencoba menggali tatanan sosial yang selama ini dianggap telah “mapan” dan dikaji ulang sebagai wujud pendalaman makna yang ada dalam semboyan tersebut.

Tugas yang diemban oleh IMM sebagai sebuah organisasi adalah melakukan transformasi sosial. IMM merupakan gerakan mahasiswa yang memiliki basis kader diranah kampus dan memiliki kultur (culture) berbeda dengan gerakan mahasiswa lainnya. Konsentrasi gerakan IMM sejatinya dinisbatkan sepenuh-penuhnya untuk masa depan Muhammadiyah, bangsa dan khususnya agama Islam. Karena itulah IMM memilki trilogi yang dimaknai sebagai bagian integral dalam menjalankan aktivitas sosial kadernya. Trilogi tersebut meliputi, kemahasiswaan, keagamaan dan kemasyarakatan.

Sifat dari pengejawantahan trilogi tersebut merupakan wujud dari adanya kesatuan integral organisasi, dimana antara lahan satu dan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, meski dapat dibedakan. Hal tersebut dikarenakan ketiganya adalah cerminan dari realitas diri IMM yang meliputi asal, latar belakang, basic kader, basic keagamaan. Serta lahan garap lainnya yang dijadikan sebagai media transformasi sosial, baik dalam wilayah kemahasiswaan, keagamaan dan kemasyarakatan.

Pembahasan akan adanya hasil penerjemahan trilogi tersebut merupakan esensi dari munculnya karakteristik atau profil kader IMM. Pengungkapan ini menjadi langkah konkrit yang semestinya diambil oleh organisasi dalam melakukan pembacaan ulang terhadap segala sesuatu yang dianggap telah “mapan” dikalangan internal maupun eksternal institusi. Pemaknaan ulang yang tertera dalam trilogi gerakan tersebut merupakan spirit yang semestinya dimiliki oleh seorang kader.




BERKACA PADA MISI PROFETIK KH. AHMAD DAHLAN

Interpretasi dari ketiga ranah garap IMM tersebut dapat dilihat pada penekanan makna, keagamaan menjadi religiusitas (transendensi), kemahasiswaan menjadi intelektualitas, kemasyarakatan menjadi liberatif dan humanitas. Wujud dari masing-masing interpretasi trilogi ini diharapkan termaktub dalam tiap individu kader.

Bidang keagamaan. Seorang kader IMM hendaknya dapat menguasai tiga tradisi pengembangan wilayah keagamaan dalam upaya – meminjam istilah Hasan Hanafi – pembangunan peradaban. Ketiga tradisi tersebut adalah pertama, tradisi Islam klasik. Kedua, tradisi Islam saat sekarang atau oksidentalisme. Ketiga, tradisi masa depan Islam.

Pertama, adalah tradisi Islam klasik, dimana teks agama dijadikan sebagai pemompa semangat pembebasan dan praxis sosial. Teks agama disini tidak sebatas dimaknai sebagai benda yang mati melainkan tetap dapat berjalan sesuai dengan ritme perkembangan zaman. Pemahaman akan pesan teks tersebut selanjutnya menjadi bagian dari fakta sejarah pembebasan manusia yang tak terbantahkan lagi meski dengan dalih apapun.

Kedua, adalah tradisi keagamaan saat sekarang yang dikenal dengan istilah oksidentalisme. Tradisi tersebut mengajak umat Islam untuk lebih melihat peradaban Barat yang sudah sangat maju itu. Tentunya hal ini disertai dengan upaya umat muslim sendiri untuk lebih bisa belajar banyak dari peradaban Barat yang selanjutnya dijadikan sebagai bahan pelengkap sebagai wahana mencapai target persamaan kedudukan dalam mengkaji ilmu pengetahuaan. Pendek kata, Hasan Hanafi mengemukakan adanya kesejajaran ego Barat dengan Islam.

Ketiga, adalah tradisi masa depan keagamaan (Islam). Tradisi ini dengan sendirinya mengajak umat Islam untuk lebih bersentuhan secara langsung dengan tradisi saat sekarang untuk merekontruksi peradaban masa depan. Menurut Hasan Hanafi, dalam mencapai tradisi kedepan ini dibutuhkan adanya penggalian atau pemaknaan ajaran agama yang bercorak liberatif, emansipatoris, berpihak dan tidak bebas nilai. Proses keterbukaan atas wilayah-wilayah esensial dengan prinsip dialogis berperan sebagai penjembatan atas kesenjangan peradaban Barat dan Islam saat sekarang. Dalam kontek ini, umat Islam berhak menilai dirinya sendiri dan juga dapat menilai atau melakukan pengkajian terhadap peradaban Barat. Dengan demikian akan lebih terjadi adanya kesejajaran “ego” antara Barat dengan Islam.

Ciri khas akan pemahaman keagamaan IMM adalah menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Pelaksanaan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta tersebut dijumbuhkan melalui forum dialog secara inheren antara kesalehan individual dan keshalehan sosial. Keshalehan individual merupakan cerminan dari sifat sufistik orang-orang tasawuf. Dan kesalehan sosial merupakan cerminan dari gerakan liberatif kaum Marxian. Perpaduan dua unsur tersebut sejatinya telah dijalankan oleh para nabi terdahulu yang menjadi panutan seluruh umat Islam seantero dunia dalam membebaskan kaumnya. Dengan wujud pembebasan tersebut, para nabi mengantarkan umat Islam untuk menjalankan ibadah sosial yang berpihak pada fakir-miskin (mustad’afin). Sebuah ajaran Islam yang lebih dikenal sebagai – meminjam istilah Kuntowijoyo – transformasi profetik.


Semangat pembebasan yang telah diajarkan oleh para nabi (transformasi profetik) ini menjadikan Islam sebagai rahmat untuk alam semesta yang bersifat melampaui zaman dan waktunya ketika itu. Semangat agama yang membebaskan atau berpihak tersebut juga telah diterapkan sejak awal oleh sang founding father Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Hal ini dapat dilihat dengan berdirinya sekian banyak sekolah, pantai asuhan, rumah sakit dan lembaga sosial lainnya. Upaya Ahmad Dahlan dalam mendirikan sejumlah amal usaha tersebut merupakan wujud dari pengejawantahan makna yang terkandung dalam misi transformasi profetik itu. Sebuah transformasi profetik tersebut dibentuk dalam sebuah gagasan sosial yang aplikatif atau praksis.

Bidang kemahasiswaan. Interpretasi akan simbol dari bagian trilogi IMM yang kedua adalah wilayah kemahasiswaan yang termaktub dalam proses pengembangan intelektualitas kader. Mahasiswa merupakan salah satu generasi yang cukup peka terhadap perkembangan dan keadaan bangsanya. Mahasiswa juga dimaknai sebagai kreator perubahan (agen of change) dalam setiap kali menyikapi masalah-masalah sosial yang sedang berkembang. Kelompok mahasiswa juga dikatakan sebagai generasi akademis yang memiliki sifat keterbukaan, siap menerima kritik dan menghargai adanya keberagaman (pluralitas) kebenaran dari corak berfikir yang futuristik.

Cita-cita Kuntowijoyo dalam melakukan eksperimentasi masyarakat ilmu sekiranya dapat dijadikan contoh sebagai mimpi panjang kader IMM. Mimpi akan adanya masyarakat ilmu tersebut sejatinya telah dimiliki oleh IMM sebagai dasar strategis pengembangan institusi kedepan. Dimana dengan latar belakang kader sebagai seorang mahasiswa tentunya akan sangat mudah untuk diterjemahkan dalam bentuk kajian bersifat futuristik. Kajian ini selanjutnya digunakan untuk melakukan transformasi profetik dalam mengatasi problem bangsa yang kian tak bertepi.

Gerakan yang dilakukan oleh IMM tersebut memiliki corak keilmuan dengan dasar akademis. Sebagai wahana pengembangan atas kekayaan ilmu yang dimiliki oleh kader selanjutnya dinisbatkan dalam wujud konkrit akan transformasi sosial. Disini peran kader IMM tetaplah dituntut untuk lebih bersikap profesional. Kendati telah selesai dari pucuk pimpinan struktural di level manapun, selanjutnya dibutuhkan adanya wadah transformasi yang sesuai dengan masing-masing keahlian dan basic keilmuan kader. Melalui wadah tersebut bairkanlah kader yang telah “ditanam” dalam suatu lingkungan berbeda dengan komunitas awalnya dapat lebih berperan dan justru memberi warna (sibghoh) yang lebih baik. Logika sederhananya adalah dengan menanam kader pada tanah yang tandus diharapkan dapat menjadi lebih subur atau mungkin menjadi tanah yang berintan, permata, emas dan yang lainnya. Dengan demikian penanaman kader IMM dapat lebih bermanfaat bagi orang lain.

Kecenderungan gerakan yang dikehendaki IMM secara institusi adalah gerakan keilmuan dan bukannya gerakan politik. Meski politik adalah bagian dari cabang ilmu pengetahuan namun dalam kontek ini gerakan politik yang “agak” dihindari oleh IMM adalah gerakan politik praktis. Politik praktis adalah suatu gerakan yang selalu mengedepankan akselerasi individu untuk meraih keuntungan sesaat dan tanpa dibekali ketajaman analisa akademik. Karenanya, pilihan gerakan ilmu bagi IMM adalah kebutuhan mendasar institusi yang patut secepatnya dimaterialkan sebagai obor penerang peradaban. IMM harus dengan tegas dan berani untuk menentukan pilihan gerakan itu sebagai kebutuhan dasar institusi dengan tujuan menerbitkan kader akademisi Islam untuk kepentingan Muhammadiyah kedepan. IMM juga harus sadar bahwa ikhlas dan istiqomah dalam memilih itu penuh dengan cuaca menantang dan memerlukan waktu panjang dalam menjalankannya.

Pilihan gerakan IMM tersebut sejatinya telah dikemas dalam sejarah panjang perjalanan Muhammadiyah dulunya. Dimana, dengan gerakan keilmuan yang dimekarkan oleh Muhammadiyah tersebut merupakan wujud pembeda gerakan persyarikatan dengan Sarekat Islam (SI). Pemaknaan atas gerakan ilmu tersebut oleh Kuntowijoyo diibaratkan layaknya orang yang sedang menanam pohon jati. Pohon tersebut dalam menuai hasilnya memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan bahkan dibutuhkan satu generasi untuk “mengungguh” buahnya. Sedangkan gerakan politis dibaratkan dengan pohon pisang. Dimana pohon pisang tersebut akan sangat cepat untuk berbuah dan berkembang. Tetapi hal itu hanya bersifat sementara saja dan yang dihasilkannya pun tak bisa memuaskan. Bahkan yang paling menyedihkan adalah pasca pohon itu berbuah maka ia akan mati.

Berangkat dari kedua analogi tersebut dapat dilihat dengan cermat atas perjalanan sejarah antara SI dan Muhammadiyah. Gerakan yang dilakukan Muhammadiyah dalam menanamnya mengurai perjalanan waktu panjang serta memerlukan kesabaran tinggi. Akan tetapi pada tahun 60-90an kader-kader Muhammadiyah banyak yang duduk dalam jajaran pemerintahan serta menggunakan posisi strategisnya untuk melakukan transformasi sosial. Sedangkan yang dilakukan oleh anggota SI dengan waktu singkat dapat berkembang pesat. Hal itu terbukti dengan sejumlah anggotanya yang mencapai tingkat nasional. Percepatan gerakan ang dilakukan oleh SI tersebut berkahir dengan hilangnya riwayat organisasi itu dimakan sejarah.

Bidang kemasyarakatan. Wilayah kemasyarakatan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai humanitas dan liberatif. Humanitas yang dilakukan oleh IMM merupakan suatu kebutuhan dalam melihat realitas sosial yang cenderung terjadi adanya proses dehumanisasi. Terjadinya dehumanisasi yang dilakukan oleh manusia tersebut sejatinya merupakan akibat dari konsep kesadarannya atas gagasan antroposentris. Kesadaran antroposentris pertama kali digulirkan oleh seorang filosof asal Perancis, Rene Descartes dengan jargon “saya berfikir maka saya ada” (cogito ergo sum).

Kesadaran antroposentris yang dibangun oleh Descartes tersebut menjadikan manusia bersifat otonom dalam menentukan nasibnya sendiri dan menaklukkan alam. Dari konsep kesadaran yang dibangun oleh Descartes, dalam perkembangannya kemudian melahirkan tradisi kebudayaan masyarakat Barat saat sekarang. Dimana dalam masyarakat tersebut telah terjadi kemajuan teknologi yang maha dasyat. Hal ini terjadi pada awal abad ke-19 yang ditandai dengan penemuan metode ilmiah deduksi, induksi, ekperimen oleh Francis Bacon.

Perkembangan industrialisasi yang berjalan di Barat sampai sekarang sudah menuju pada keadaan masyarakat – meminjam istilah Daniel Bell – postindustrial. Masyarakat Barat dengan perkembangan postindustrialisme tersebut memiliki kehampaan spiritual, karenanya mereka membutuhkan sentuhan nilai agama (religiusitas). Menurut Doni Grahal Adian, dalam rangka mengobati peradaban Barat tersebut maka memunculkan istilah-istilah baru seperti, pragmatisme, anarkisme serta utilitarianisme. Tujuan teknologi dan sistem kapitalisme dalam masyarakat postindustrial yang dianggap menjadi salah satu cara untuk lebih mempermudah manusia justru malah makin mempersulit. Hal ini dikatakan oleh Max Weber sebagai sangkar besi rasionalisme.

Sistem kapitalisme melalui perkembangan teknologinya telah berjalan sendri tanpa terkendali, sehingga mereka terjerembab menjadi alat bagi para pemegang modal yang kemudian menyebabkan manusia ter-dehumanisasi. Hal ini berakibat pada munculnya sejumlah kerusakan dan eksploitasi ekologi alam semesta karena perilaku manusia. Masyarakat dan para intelektual telah terjerumus dalam lembah hitam yang bekerja untuk kepentingan kekuasaan. Dalam kontek tersebut maka ilmu pengetahuandijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan yang tanpa sadar telah diarahkan pada kepentingan global berupa pasar bebas. Kekuatan humanisasi yang dimunculkan oleh pandangan antroposentris cenderung berbalik pada upaya dehumanisasi itu sendiri.

Berdasarkan problem sosial diera postmodernisme yang tengah terjadi saat sekarang mencoba mengintegrasikan antara nilai agama dengan ilmu pengetahuan atau penyapaan bahasa langit dengan bumi. Wujud pengintegrasian ini dijumbuhkan dalam upaya memberikan tawaran terhadap problem dehumanisasi itu. Sebagai sarana antisipasi, Kuntowijiyo memandang perlu untuk menekankan gagasan – meminjam istilah Ali Syari'ati – berdasarkan humanisme teoantroprosentris. Pandangan ini mencoba memaknai humanisme yang didasarkan pada nilai ajaran agama dalam melihat manusia dan bukannya pada otonomi manusia itu sendiri. Kuntowijoyo telah memberikan ilustrasi tentang makna fitrah yang lebih memanusiakan manusia pada derajat sesungguhnya atau sebaik-baik manusia fi ahsani taqwin.

Derajat manusia yang sesungguhnya mencapai tingkat kemuliaan dan tidak mengalami keterhinaan, baik yang dilakukan oleh struktur ataupun super struktur dalam membentuk kesadran manusia tersebut. penekanan pandangan pemanusian-manusia atau proses humanisasi tersebut didasarkan pada teoatroprosentris bukannya atroposentris. Proses manusiawisasi adalah upaya melakukan transformasi kesadaran akan diri manusia yang sesungguhnya berdasarkan nilai-nilai agama.

Liberatif dalam bahasa sederhananya adalah proses pembebasan. Proses pembebasan ini telah dilakukan oleh kaum Marxis dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Proses liberatif yang dilakukan tersebut lebih ditekankan pada upaya membentuk kesadaran manusia. Dimana manusia yang terbebaskan tersebut dapat menyadari bahwa dirinya mengalami ketertindasan oleh sistem yang selama ini sedang berjalanan.

Gagasan liberatif IMM memiliki arah pada spirit pembebasan dan sekaligus bertujuan penuh pada upaya recovery pasca dibebaskannya manusia. Proses pembebasan IMM tersebut dapat dimaknai dengan istilah profetical of liberatif. Profetical of liberatif ini dalam sejarah kenabian dapat dirujuk pada cara pembebasan yang telah dilakukan oleh nabi Musa as. dalam memerdekaan kaumnya dari penindasan Fir'aun. Dimana usai melakukan pembebasan dan benar-benar merdeka dari sistem tersebut, maka nabi Musa mengarahkan agar kaumnya memiliki kesadaran akan adanya sang Pencipta. Semangat kenabian tersebut mengajak proses pembebasan yang dilakukan oleh IMM cenderung berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok Marxian.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, semangat pembebasan itu juga sejatinya telah dilakukan oleh Ahmad Dahlan. Menurut Abdul Munir Mulkhan, upaya pembebasan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan condong pada gerakan profetik. Hal tersebut dikarenakan Ahmad Dahlan dalam melakukan tranformasi sosial atau humanisasi dan liberasinya lebih berdasar pada semangat trasendensi. Semangat transendensi Ahmad Dahlan adalah hasil persentuhan antara kekuatan teks (Al-Qur’an) terhadap realitas. Dengan jalan kontekstualisasi teks dengan realitas serta dibarengi dengan angkah konkrit menyebabkan perjuangan Ahmad Dahlan dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar

EVENT

MUSYAWARAH KERJA
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011


Sabtu & Ahad
4 & 5 Maret 2011
13.00 - 18.00 & 09.00 - Selesai
Ruang 204 Kampus III UAD & Wisma Damar

UP-GRADING
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011


Jum'at
4 Maret 2011
13.00 - 18.00
Ruang 303 Kampus III UAD

PELANTIKAN PIMPINAN KOMISARIT IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011


Sabtu
5 Februari 2011
16.00
Ruang 203 UAD

FROM ADMIN

Bagi teman - teman yang ingin menyumbangkan tulisan ke dalam blog ini dapat mengirimkannya ke immfarmasiuad@ymail.com.
TERIMA KASIH

Blog Archive