Minggu, 16 Mei 2010
Minggu, Mei 16, 2010 |
Diposting oleh
IMM FARMASI UAD |
Edit Entri
SEKILAS TENTANG PERUBAHAN
Tidak suatu masyarakat yang tidak berubah. Sosiologi sangat memperhatikan perubahan social, oleh karena itu banyak teori yang dilahirkan untuk menganalisis tentang perubahan social. Perubahan social merupakan proses yang berkesinambungan, penelaahan mengenai proses tersebut mempunyai perfektif sejarah atau evolusioner. Pada dasarnya teorri tentang perubahan social dapat digolongkan ada dua macam teori linier dan teori siklus. (H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan). Perubahan social yang terjadi secara terus menerus tetapi perlahan-lahan tanpa direncanakan maka dapat dikatan sebgai uplened social change atau yang disebut sebagai perubahan social yang tak terencana. Perubahan social yang demikian, disebabkan oleh perubahan dalam bidang teknologi atau globalisasi. Ada juga perubahan social yang direncanakan atau didesaint dan ditetapkan dalam tujuan serta srateginya. Ini merupakan perubahan social planned social change (perubahan social yang terencana. Perubahan social yang terencana dapat dikatan sebagai rekayasa social. Dalam rekayasa social akan diajarkankiat dan strategi dalam mengubah masyarakat.
Sebab sebab perubahan social dalam teori social beragam ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas; berupa pandangan hidup, pandangan idea, dan nilai-nilai. Penganut teori ini penyeabab utama dalam perubahan adalah idea sebagaimana yang dikemukakan oleh Max Weber. Weber banyak menekankan betapa pengaruhnya idea terhadap suatu masyarakat. Tesis utama weberianisme adalah penmgakuan terhadap peranan besar terhadap ideology sebagai variable independent dalam perkembangan masyarakat. Hal ini seperti yang dilakukan oleh nabi perubahan yang dilakukan dengan berdasarkan al Qur'an, sehingga perubahan social yang dilakukan lewat idea al Qur'an. Selanjutnya dalam perubahan dilakukan oleh orang-orang besar, hal ini dapat dilihat perubahan yang tercatat dalam tinta emas sejarah merupakan biografi dari orang-orang besar yang melakukan trnasformasi social. Perubahan dilakukan oleh orang kreatif yang berkumpul menjadi suatu gerakan social yang terlembagakan dalam bentuk lembaga yang melakukan pemberdayaan masyarakat. (Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Social)
Pemberlakukan strategi dalam perubahan social dapat dipetakan dengan dua cara pertama dengan masuk kedalam system. Kedua dengan melakukan penyadaran lewat pendidikan. Pertama, perubahan yang masuk kedalam system maka aperubahn yang terjadi revolusioner dam memiliki dampak menyeluruh. Perubahan terjadi dari tingkatan atas sampai tingkatan bawah, perubahan dilakukan dengan menggunakan kebijakan dan bersifat instruktif. Perubahan ini tercapai lewat jalur partai politik yang menjadi jalur dalam memasuki system Negara yang mengeluarkan kebijakan dalam melakukan perubahan. Sedangkan perubahan yang dilakukan dengan penyadaran lewat lembaga pendidikan baik yang dilakukan oleh LSM atapun lembaga yang bersifat transformative. Perubahan dilakukan dengan melakukan penyadaran terhadap masyarakat dengan cara mereka terjun secara langsung pada msyarakat dan ini bersifat partisipatoris dan transformative. Masyarakat diajak untuk melakukan refleksi tentang realitas kehidupannya, dan diajak untuk bersikap kritis terhadap kehidupan yang dialami bersama. Perubahan ini bersifat lambat dan dilakukan oleh orang yang peduli terhadap kehidupan social dan biasanya lemabaga itu, menangani dalam permasalahan (bidang) tertentu yang spesifik. Hasil dari perubahan sulit untuk dirasakan dikarenakan ia menyentuh krangka berfikir agar dapat mandiri dan tidak memiliki ketrgantungan.
Transformasi dalam istilah antropologi atapun sosiologi memiliki makna tentang perubahan yang mendalam sampai pada perubahan nilai dan cultural. Bersamaan, dengan proses terjadainya transformasi, terjadi pula proses adaptasi, adopsi atau seleksi terhadap kebudayaan lain. Menurut Neong Muhadjir pengertian tersebut merupakan hasil pengamatan ats sejarah dan bagian dari ideology yang berkembang. Misalkan ideology kapitalis menitik beratkan dengan penumpukan capital (modal atau harta ) yang bersifat individual. Sementara kapitalisme menitik beratkan pada konflik antara borjuis-proletariat sebagai strategi dalam melakukan perjuangan. Semua filsafat social dan ideology memiliki pertanyaan pokok yang menjdai kepentingan manusia. Pertanyaan tersebut yakni bagaimana cara mengubah masyarakat dari kondisi sekarang ke tatanan yang lebih ideal. Selanjutnya orang atau institusi yang mengelaborasi pertanyaan tersebut dapat menghasilkan teori-teori social, memiliki fungsi menjelaskan kondisi masyarakat secara empiris, pada masa kini dan sekaligus memberikan wawasan tentang perubahan dan transformasinya.
Transformasi yang terutama perubahan prilaku dapat lahir dari sebuah proses perubahan kesadaran dari individu yang terdapat dalam masyarakat, yakni kesadaran mengubah pemahaman, cara pandang, interpretasi dan aksinya. Untuk pemahaman lebih lanjut, maka akan dibahas perubahan social pada tokoh awal yang mempeloporinya diantaranya Durkeim, Weber, dan Marx.
TRANSFORMASI SOSIAL EMILE DURKHEIM
Menurut Durkheim dalam memandang masyarakat bagaikan sebuah tatanan moral, yakni seperangkat tuntunan normative lebih ideal dari pada kenyataan material, yang terdapat dalam kesadaran individu walaupun secara tertentui berada di luar individu. (Tom Cembel, Tujuh Teori Sosial). Tuntunan normative tersebut berbentuk sentiment-sentimen kolektif atau nilai-nilai social yang pada hakikatnya menjadi dasar bagi kohesi dan integrasi social. Durkeim melakukan trsendensi hubungan material yang terjadi secara riil dalam kehidupan masyarakat. Sentiment kolektif dalam masyarakat membentuk solidaritas dalam menjalankan kehidupannya. Durkheim menguraikan dari solidaritas tersebut dalam masyarakat tradisonal dengan sebutan solidaritas mekanik, mengalami perkembangan menjadi bentuk solidaritas organic dalam masyarakat modern yang telah mengalami pembagian kerja. Bahwa proses transformasi social menurut Emile Durkheim terjadi karena inspirasi semangat moral, nilai-nilai atau keykinan yang sma dalam masyarakat. Kesadaran kolektif (collective consciousness) yang terbentuk dari consensus akan menciptakan gamabaran kolektif yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat secara keseluruhan, baik yang tercermin dalam bentuk hukum atapun peraturan. (Suwito, Tansformasi Sosial)
TRANSFORMASI SOSIAL MAX WEBER
Transformasi social Max Webber dimulai dari pandngan tentang dunia ide pencapaian tipe idea. Pencapaian idea ini dapat digerakan oleh dominasi dan otoritas suatu masyarakat. Otoritas dalam masyarakat dalam pandangan Weber terbagi menjadi tiga macam pertama tradisional (kepercayaa yang mapan terhadap kesunian tradisi), kharismatik (daya tarik pribadi seorang pemimpin), dan legal-rasional (komitmen terhadap seperagkat peraturan yang telah diundangkan secara resmi). Ketiganya mengontrol terhadap seluruh kekuatan masyarakat, bahkan memunculkan birokrasi da menjadi sumber penting munculnya cita-cita dan nilai. Hukum baru dimunculkan secara sadar oleh pemegang ortoritas, kesadaran kaum elit pemengang otoritas dapat mengendalikan masyarakat dan sejarah. Peran mereka mendorong masyarakat untuk melakukan transformasi. Teori social ini secara implicit juga dapat terlihat penjelasannya tentang transisi menuju kaptalisme. Webber menganggap ajaran dari Protestan Calvinis memberikan doktrin tawaran penyelamatan umat. Manusia akan mendapatkan keselamatan dari Tuhan apabila ia memenuhi keinginan Tuhan. Maksud dari keinginan Tuhan antara lain usaha mandiri dan kerja keras. Kesuksesan dalam dunia bisnis yang dicapai melalui usaha mandiri merupakan "jalan bebas hambatan" menuju surga. Pendapat itu dipercaya oleh Webber sebagai tipe ideal kaum calvinis, yang menjadi asal usul bangkitnya kapitalisme.
Webber menegaskan kapitalisme berkembang bukan hanya agama protestan, tetapi tanpa nilai religisu semacam itu kapitalisme tidak akan berkembang. Maka hal yang perlu diperhatikan dalam perkembang kapitalisme adanya peraturan yang secara teknis mengikat dan menjamin keberhasilan capitalism. Dengan menggunakan hukum rasional seorang kapitalis akan dapat tegak secara hukum . begitujuga seorang kapitalis tidak dapat berbuat apa-apa jika pengadilan membuat keputusan hukum sesuai dengan cara-cara teknis yang meliputi cara perhitungan rasional dengan pembuatan neraca, kakulasi dan sebagainya. (L. Laeyendecker, Tata Perubahan dan Ketimpangan). Proses transformasi social menurut Webber dikarenakan ada beberapa factor yang menggerakkan, pertama, pencapaian "tipe ideal" yang dimaksud dapat terispirasi dari ajaran agama atapun moral. Tipe ideal adalah contoh dari kegiatan modal social yang dipakai dalam memahami dan menafsirkan tingkah laku manusia tau dikatakan dapat dikatan entitas mental dan gagasan tentang tindakan (sebagai contoh Webbe menggunakan tipe ideal kapitalis).
Kedua, organisasi otoritas, diantara kepentingan sesuai dengan tipe idealnya maupun kepentingan materiya, peranan organisasi-organisasi otoritas adalah yang dipandang menentukan. Fungsi dan peran organisasi otoritas akan memberikan jaminan dan legitimasi (tipe ideal) yang diinginkan. Hukum–hukum rasional yang mereka ciptakan, kemudian dijadikan sandaran dalam kreatifitas. Dengan pernyataa itu bagai Webber factor organisasi otoritas sebagai awal dari transformasi, walaupun tipe ideal itu terdapat dalam sebuah masyarakat, namun tipe ideal tersebuit tidak diperjuangkan dengan bantuan organisasi otoritas (terutama otoritas rasional), maka upaya penyampaian itu tidak akan berhasil seratus persen. Bahwa hubungan kausal dari terjadinya perubahan social sebagai akibat perubahan dari tingkat struktur teknik. Otoritas kaum elit didalam masyarakat menciptakan legitimasi untuk mempertahankan melalui system symbol sebagai justifikasi kultur atas posisinya yang dominant secara ekonomis atapun politis. Dominasi kaum elit pada struktur teknik, menjadi agen perubahan budaya yang akhirnya akan mempengaruhi struktur social. (Kuntowijoyo, Paradigma Islam).
Transformasi profetik yang diperlukan oleh ikatan merupakan menjadikan ajaran Islam yang bersifat normative menjadi suatu bentuk kesadaran yang bersifat objektif dan ilmiah. Kesadaran yang dibawa dalam transfomasi profetik ada dua macam pertama menjadikan agama bersifat objektif dan yang kedua membawa masyarakat dalam kesadaran ilmu bukan mitos atapun ideology. Transformasi profetik yang dilakukan oleh ikatan merupakan suatu kesadaran kolektif yang dimiliki oleh ikatan guna mencapai cita-cita yang telah diinginkan. Transformasi ini juga dapat dilakukan secara individual pada kader ikatan guna mencapai tujuan yang sama. Bentuk trnsformasi yang individual dari kader ikatan merupakan uapaya individual guna menyadarkan kesadaran profetis pada masyarakat sehingga tercapai yang diimpikan. Ketika kader ikatan bergabung dengan aliran yang professional juga dalam diri kader ikatan, maka kader tersebut mentransformasikan kesadaran ini, gana menjadi ethic oraganisasi. Setelah menjadi ethic organisasi maka merupakan saling koordinasi dengan ikatan agar dapat melakukan kerjasama guna menciptakan yang telah diidealkan. Kesadaran profetis ini, guna mencapai masyarakat khorul umah harus dimiliki oleh setiap manusia yang memiliki kesadran kolektif profetis dan membentuk system yang adil dan melindungi golongan yang termarginalkan.
Usaha kolektif yang dilakukan oleh ikatan dengan kedaran kolektif ini, dengan cara pembuatan kebijakan organisatoris yang memanusiakan manusia, bersifat liberatif dan mengajak untuk transenden. Ikatan dengan kesadaran kolektifnya dalam melakukan transformasi dengan bentuk-bentuk kerja praksis kemanusiaan dalam rangka mencapai masyarakat khoirulk ummah. Kerja ikatan ini merupakan berfikir jangka panjang dan bersifat holistic. Bentuk transformasi profetik ini berupa menjadikan agama yang tdinya nilai-nilanya idealogis dan normative menjadi objektif. Bentuk objektif ini bisa diterima oleh seluruh manusia tanpa tahu asal-usulnya misalkan apukuntur merupakan objektifiksai dari ajaran Budha. Selanjutya transfomasi yang dilakukan dalam hal ini diirahkan pada kesadaran yang berdasarkan ilmu bukanya ideology atau mitos.
Pertama, menjadikan ajaran atau nilai-nilai agama menjadi objektif. Dalam rangka mencapai hal tersebut, maka yang diperlukan merupakan pergeresaran paradigama (shifting paradigm) dari jaran Islam yang menekankan kesalehan individu menjadi objektif yang menekan kesalehan social dan menuju moralitas keluar. Dalam hal ini yang dicontohkan oleh Amin Abdullah misalkan dalam tasawuf corak yang dibawa merupakan keagamaan yang menekankan spiritualitas dan kesalehan individu dalam hal ini harus berubah dari kesalehan individu kesalehan social mejadi suatu bentuk moralitas Islam yang keluar. Selanjutnya dalam rangka menjadikan nilai Islam dapat diterima oleh golongan lain non Islam, Kunto menawarkan konsep objektifisaki terhadap al Qur'an. Objektifiksai ini merupakan menjadikan nilai-nilai Islam yang berada dalam al Qur'an dapat diterima oleh umat manusia tanpa melihat darimana asal-usulnya. Dengan objektifikasi menjadikan ajaran Islam bersifat objektif (diteima oleh siapaun) dan bukan subjektif hanya dalam pemahan yang beragama saja (Islam).
Objektifikasi merupakan upaya menjadikan Islam dengan nilai-nilainya bersifat subjektif, maka perlu diobjektifkan agar dapat diterima oleh umat yang lain. Objektifikasi merupakan suatu usaha aktif dari orang Islam untuk menjadikan ajaran agamnya dapat memberikan rahmat pada semua. Objektif yang diinginkan oleh Islam bukan saja berprilaku objektif secara pasif namun juga secara aktif. Objektif secara pasif merupakan menerima kenyataan objektif yang telah disodorkan kepada umat. Misalkan untuk kamum muslim bekerja dimana saja, maka ia dapat berkerja dimanapun dan tak pernah menanyakan agama orang yang datang. Sedangkan prilaku objektif secara aktif merupakan usaha aktif agar Islam sebagai rahmat tanpa memandang, ras, warna kulit, dan agama.misalkan umat Islam harus berbuat adil terhadap siapaun dan tanpa pandang bulu. Objektifikasi berasal dari internalisasi nilai, tidak dari subjektifikasi kondisi objektif. Objektifiksai merupakan penerjemahan nilai-nilai internal kedalam kategori-kategori objektif. Nilai-nilai agama terinternalisasi kemudian tereksternalisasi mengalami objektifikasi dan menjadi gejala objektif, kemudian menjadi subjektifikasi dan terus berdialektik. Eksternalisasi merupakan konkreatisasi kenyakinan yang dihayati secara internal. Misalkan pada contoh zakat, zakat timbul dikarenakan zakat untuk membersihkan harta yang dimiliki, dan kemudian membayar zakat mrupakan eksternalisasi, jadia eksternalisasi merupakan ibadah. Objektifikasi menempuh prosedur yang sama dengan eksternalisasi, tapi ada tambahan. Tambahan dalam objektifikasi perbuatan tersebut harus sewajarnya dan natural, tidak sebagai suatu prilaku keagamaan. Perbuatan ini diharapkan menjadi objektif dapat diterima oleh siapa pun tanpa memandang asal dari mana, dan dengan objektifaikasi dapat dirasakan oleh siapa pun. Objektifikasi Islam merupakan bersifat sangat terbuka dalam kehidupan yang berbangsa dan bernegara. Mengkin menurut Ahmad Syafi'i Maarif dan M. Quraish Shihab, dengan menggunakan istilah "membumikan al Qur'an", yang artinya kira-kira sama dengan eksternalisasi. Objektifikasi memerlukan umat yang dapat berfikir logis berdasarkan fakta konkret dan empiris. Sebaliknya untuk orang non Islam juga dapat melakukan hal yang sama melakukan objektifikasi ajarannya sehingga dapat diterima dan dilaksanakan dari luar golongannya, dikarenkan sudah bersifat natural dan sewajarnya. Misalnya, tusuk apukuntur dari merupakan bukan dari ajaran Islam tetapi diakui oleh semua manusia khususnya dalam dunia kesehatan. (Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu)
Kedua, transformasi Profetik dalam bentuk merubah kesadaran dari mitos, ideologi, kedalam bentuk kesadaran ilmu. Periode mitos ditandai dengan cara berfikir pralogis (mistik) berbentuk magi, pergerakan politik (pembrontakan) dengan lokalisasi pedesaan, bersikap local latar belakang ekonomi agraris, masyarakat petani solideritas mekanis, dan kepemimpinan tokoh kharismatik. Mitos merupaka suatu konsep kenyataan yang mengandaikan bahwa dunia pengalaman kita sehari-hari terus menerus disusupi oleh keuatan yang keramat. (Peter L. Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan). Menurut Kunto setidaknya ada dua ciri berfikir secara mitos, pertama menghindar dengan menggunakan symbol seperti upacara ruwatan dan sesaji. Kedua, menghindari yang konkreat menuju yang abstrak, suatu abastraksi. (Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Reaalitas). Sebelum kemerdekaan juga rakyat memitoskan tentang ratu adil dan dalam Islam terdapat juga sebagai imam Mahadi. Imam Mahadi akan berbuat keadilan dan menyelamatkan umat muslim dari penderitaan dan penindasan dari pimpinan yang tiran sehingga yang terjadi sehingga tercipta kedamaian. Mitos kemudian brkembang pada pemikiran seseorang atau pada seseorang yang dianggap sebagai penyelamat seperti mitos pada Soeharato sebagai bapak pembangunan.
Pada periode ideology setidaknya terdapat pertentang ideology besar yang terjadai antara kapitalis, komunis, dan bahkan Islam (agama) dianggap sebagai ideologi. Selanjutnya dalam perode ideology dalam kerangka berfikir organisasi bercorak rasional (rasional nilai) tetapi non logis berbentuk pengetahuan apriori tentang nilai-nilai abstrak, lokasi kota, perkumpulan bersifat nasional, ekonomi komersial dan industri kecil, solideriatas organis, kepemimpinan intelektual. Berikut ini table pembedaan masa mitos keideologi;
Ideology dalam melakukan perubahan social bersifat rasional tetapi dalam gerakan yang dilakukan berdasarkan kesadaran yang pasif. Gerakan yang dilakukan dalam kerangka pikir ideology gerakan berdasarkan emosi bukan berdasrkan rasionalitas. Jika mau digali yang berkesadran hanyalah kaum elit dan masyarakat sebagai alat untuk bergerak melakukan perubahan tanpa dilibatkan secara sadar, bentuk kesadran masyarakat hanyalah kesadaran semu. Kesadaran semu, dikarenakan masyarakat tidak mengerti secara jelas dan tujuan dalam melakukan perubahan dan massyarakat hanya mengikuti saja apa yang telah diperintahkan oleh pemimpin. Gerakan ideology ini menjadikan ia bersikap eksklusif dan tertutup dengan pengetahuan yang lain. Pemahan yang tertutup ini menjadikan ia melakukan berbagai cara utuk mencapai tujuan yang telah dicita-citakan. Dalam bentuk berfikir dalam meihat realitas social yang empiris dan dikembalikan pada persolan yang meta fisika dan tak logis, sehingga bersifat apriori dan abstrak dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapi.
Dalam kesadaran ideology yang terpenting merupakan mobilisasi massa, tetapi dari kesadaran ilmu yang terpenting merupakan kesadran masyarakat.yang dibutuhkan dalam kesadaran ilmu masyarakat dapat berfikir secara logis, berdasarkan fakta konkret dan empiris.ajaran Islam tidak lagi dipahami dalam kerangka ideology, tetapi yang terpenting merupakan mengembangkan Islam sebagai ilmu. Ilmu memiliki pendekatan yang bersifat cultural yang berarti setiap gagasan harus digulirkan terlebih dahulu, terserah orang menambil atau tidak yang terpenting tidak ada dominasi atau hegemoni. Kutural juga menggunakan kekuatan budaya, sehingga rekontruksi yang telah dilakukan oleh ilmu secara parsial atau ilmu menghendaki perubahan yang secara terperinci. Ilmu akan memasuki masyarakat modern dan industrialisasi, dikarenakan proses idustrialisasi merupakan pengembangan dari ilmu. Sebagaimana dlam industrialisasi meniscayakan dua hal yakni rasionalisasi dan sistemisasi. Pola fakir rasional seperti ditunjukan dalam prilaku ekonomi akan dominant dalam masyarakat industri, menggantikan cara berfikir berdasarkan nilai, persamaan dan tradisi. Sistemisasi dikarenmkan segala sesuatu tidak lagi diatur oleh orang melainkan oleh system, sistemisasi dilakukan agar segala yang berlaku secara adil dan fair. Segala kepentingan dan kebijakan diataur dan dilakukan dalam kerangka system baik, politik, maupun ekonomi. (Kuntowijoyo, Indentitas Politik Umat Islam)
Dalam kesadaran ilmu, yang dilakukan menjadikan Islam sebagai suatu agama yang objektif (untuk siapa saja tanpa memandang predikatya, memandang sesuatu sebagai sebenarnya, tanpa dipengaruhi kenyakinan pribadi), dapat diterima orang luar tanpa menyetujui nilai asal.menurut Kunto dalam kesadran ilmu dapat diliahat dari berbagai hal salah satu diantaranya yakni ilmu ekonomi Islam dan aplikasinya, politik praktis dn pemikiran keagamaan. Penerapan perekonomian syari'ah dengan menggarap institusi modern yakni perbankan Islam (bank syari'ah) dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Selain itu juga dalam bidang ekonomi dibarengi dengan munculnya sekolah tinggi ekonomi syari'ah, yang menawarkan program keuangan dan perbankan syari'ah, akutansi sayri'ah dan menegement syari'ah. Selanjutnya dalam bidang politik menculnya partai yang berangkat dan berakar dari moral agama, kemanusiaan dan kemajemukan. Partai tersebut memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi dan kemajuan, dan keadilan social untuk cita-cita masyarakat. Moralitas dan kemajemukan bagai Kunto ini yang menjadi sebuah gejala objektif. Moralitas agama bersal dari ajaran tentang ta'aruf (saling mengenal) dan rahmatan li al alamin (arahmat untuk semua orang). Kemajemukan juga berarti Islam mengakui adanya pluralisme dan sekaligus menjadi praktik politik. Sedangkan dalam pemikiran keagamaan menjadikan spiritualitas yang lebih bercorak kesalehan individu, berubah mejadi moralitas dalam segala hal sehingga mejadi suatu kesalehan social bagi agama dan moralitas agama yang berorientasi keluar, sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh semua orang. Berikut ini merupakan bentuk bagan pemetaan kerangka berfikir mitos, ideology dan ilmu menurut Kunto;
KHOIRUL UMMAH
Khoirul umah merupakan suatu cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh ikatan setelah mewujudkan transformasinya. Khoirul ummah bukanlah suatau otopia yang tak terlaksna seperti kaum Marxism yang mencitakan masyarakat tanpa kelas. Tetapi bagi ikatan khoirul umah merupakan upaya dan kerja keras ikatan dalam meakukan perubahan dan transformasi. Perwujudkan dari khoirul ummah ini, dapat dilaksanakan dengan menyiapkan sumber daya yang dilakukan dalam melakukan transformasi, serta hasil dari trnasformasi ini dapat dirasakan oleh generasi yang akan datang. Hal ini menjadikan ikatan berfikir kedepan dan merupakan tuigas individu kader dan kolektif ikatan dalam mewujudkan cita tersebut. Khoirul ummah merupakan suatu aktivisme sejarah dan menjadikan sejarah bercorak kemanusiaan. Aktivisme sejarah ini menjadikan suatu kerja keras dan tantangan bagi ikatan secara kolektif atapun individu kader dalam merubah dan menentukan jalannya sejarah.
Khoirul ummah merupakan proses perwujudan dari transformasi profetik yang dilakukan oleh ikatan baik yang bersifat organisatoris atapun individu kader sesuai dengan skill yang dimiliki oleh masing-masing kader dalam ikatan. Khorul ummah merupakan suatu masyarakat yang berilmu (masyarakat yang ilmiah, rasional berfikir logis, empiris dan konret), berkeadilan merupakan suatu masyarakat yang adil tanpa penindasan dan system yang memihak kepada kaum miskin, dibawah atau disemangati nilai-nilai transendensi atau dalam naungan Tuhan. Transformasi profetik yang memiliki tiga pilar ini humaisasi, liberasi dan transedensi menjadikan lagkah dan geraka ikatan dalam mewujudkan masyarakat yang ideal tersebut. Kunto menyebutkan masyarakat idealnya dengan menggunakan istilah garden city. Garden city merupakan sebagai proses dari masyarakat industri lanjut. Industri lanjut ini merupakan pengkritisaian masyarakat industri modern yang dalam perjalan sejarahnya telah membawa kepada persolan dehumanisasi terhadap manusia atapun terhadap alam. Dehumanisasi pada manusia menjadikan manusia sebagai mahluk yang satu dimensi, manusia modern sering mengalami alienasi dan tertekan, tidak dapat menemukan kebebasan. Manusia modern ini seperti yang telah digambarkan oleh Herbert Markus sebagai manusia satu dimensi, dimana logika yang ia gunakan logika kerja dan menjadi rasional instrumental. Dari rasioalitas tersebut juga yang menyebabkan rusaknya ekologi serta ekosistem di alam.
Kunto menggambarkan garden city sebagai suatu masyarakat perpaduan dari dua kebudayaan yakni kebudayaan agraris dengan kebudayaan industri. Masyarakat industrial menghasilkan kota satelit-kota diluar kota, vila-rumah diluar kesibukan, village-desa dengan konsep kota, metropolitan-kota besar, megapolitan-kota super besar. Sedangkan garden city merupakan kota sebuah kota besar dan bahkan super besar yang didalamnya terdapat taman, pertanian dan hutan, dengan maksud secara ekologis kota tetap layak huni dan demikian juga, secara social, moral, dan spiritual. Dengan kata lain, bumi ini hanya layak dihuni oleh manusia yang didalamnya dimasukan agama. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid).
Label:
MANIFESTO INTELEKTUAL PROFETIK
|
0
komentar
Jumat, 14 Mei 2010
Jumat, Mei 14, 2010 |
Diposting oleh
IMM FARMASI UAD |
Edit Entri
PENDAHULUAN
Ilmu social dinamakan demikian, karena ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehiduapan bersama sebagai objek yang dipelajari. Ilmu ilmu social belum memiliki kaidah dan dalil yang tetap dimana oleh bagian yang terbesar masyarakat, oleh karena itu ilmu social belum lama berkembang, sadangkan yang menjadi objeknya masyarakat terus berubah. Sifat masyarakat terus berubah-ubah, hingga belum dapat diselidiki dianalisis secara tuntas hubungan antara unsure-unsur dalam kehidupan masyarakat yang lebih mendalam. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan alam yang telah lama berkembang, sehingga telah memiliki kaidah dan dalil yang teratur dan diterima oleh masyarakat, dikarenakan objeknya bukan manusia. Ilmu social yang masih muda usianya, baru sampai pada tahap analisis dinamika artinya baru dalam datara tentang analisis dataran masyarakat manusia yang bergerak. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar).
Ditengah kehidupan masyarakat, banyak sumber pengetahuan yang bersifat taken for granted, sumber tanpa perlu diolah lagi tetapi diyakini akan membantu memahami realitas kehidupan ini. Masyarakat dapat langsung begitu saja memakai pengetahuan taken for granted tersebut sebagai sebuah pegangan yang diyakini benar atau berguna untuk meemmahami dunia dimana ia hidup. Jenis pengetahuan tanpa diolah lagi tentu saja banyak dan tersebar, mulai dari system keyakinan, tradisi agama, pandangan hidup ideology, paradigma dan juga teori, dan termasuk didalamnya teori social. Dalam masyarakat intelektual, terutama dalam tradisi positivisme lazim untuk mengambil sumber pengetahuan taken forr granted tersebut dari ranah paradigma dan teori. Kendati demikian, teori sebenarnnya bukan hanya untuk kalangan intelektual atau kalangan expert, mesti tidak sedikit yang berpandaangan hanya kalangan intelektual atau akademisi saja yang membaca realitas social tidak dengan telanjang, melainkan dengan kacamata teori tertentu. Memanga telah menjadi tradisi dikalangan intelektual dalam membaca realitas social dengan menggunakan kacamata atau teori tertentu. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Dalam beberapa hal, teori ilmiah berbeda dengan asumsi-asumsi yang telah ada dalam kehidupan sehari-hari dan secara tidak sadar telah dimiliki orang. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi suatu teori yang merupakan bagaian dari kegaitan ilmiah. Dalam memamasuki era pelahiran ini merupakan kajian dari teori yang eksplisit, sehingga menjadi objektif, kritis, dan lebih abastrak dari pada yang dilakasanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pemebentukan teori tidak pernah muncul dari awal, tidak mungkin bagi ahli teori social untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh pengalaman social pribadinya, tau pengaruh dari pengalaman ini cara pandang dunia social. Proses pembentukan teori berlandaskan pada images fundamenatal tertentu mengenai kenyataan social. Gambaran tersebut dapat melingkupi asumsi filosofis, dasar mengenai sifat manusia dan masyarakat, atau sekurang-kurangnya pandangan yang mengatakan bahwa keterturan tertentu akan dapat diramalkan dalam dunia social. Teori ilmiah lebih menggunakan metodologi dan bersifat empiris. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern)
Pengklasifikasian dalam ilmu social terdapat tiga perfektif besar yang berkembang selama ini, yakni perfektif structural fungsional, structural konflik serta konstruksionisme. Ketiga aliran tersebut masing-masing mengkritik dengan mematahkan proposisi, konsep maupun teori yang ditawarkan satu sama lain. Namun kritik tersebut tidak dapat menggoyahkan hegemoni mereka masing-masing dan ketiganya masih memiliki pengikut yang setia. Ketiga teori social tersebut, merupakan upaya dalam memahami realitas kehidupan. Dengan teori social diharapkan orang dapat menghimpunddan memaknai informasi secara sistematik bukan sja untuk menyumbang pengembangan teori, tetapi ebih penting lagi untuk memecahkan persolan dan untuk tujuan keberhasilan dalam mengarungi pergumulan kehidupan. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Micheal Root dalam philosophy of social science, membedakan jenis ilmu social, yakni ilmu social yang bercorak liberal dan ilmu social bercorak perfeksionis. Ilmu social liberal dikarenakan ia tidak berusaha mempromosikan suatu cita-cita social, nilai keajikan tertentu. Akar dari gagasan liberal ialah liberalisme dalam politik. Peneliti dalam ilmu ini bersifat neutralisme, tetapi tidak pernah terjadi dalam ilmu social. Lain halnya dengan ilmu social yang bercorak perfeksionis berusaha mencari wahana dari cita-cita mengenai kebajikan, jadi dalam ilmi ini bersifat partisipan. Ilmu social ini bersifat tidak bebas nilai, menghargai objek-objek ubjek yang diteliti dan bahkan menjadikannya sebagai subjek. Data yang baik dalam pandangan cita-cita liberal merupakan yang bebas dari muatan nilai, moral dan kebajikan objek penelitiannya, tetapi hal ini tidak akan pernah terjadi walaupun dalam penelitiannya bekerja keras. Contoh dari ilmu osial perfeksiois marxisme dan feminisme. Marxisme mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, sedangkan feminisme masyarakat tanpa eksploitasi seksual. Keduanya memiliki persamaan anti eksploitasi dan dominasi. Selanjutnya Root mengusulka agar dalam cita-cita ilmu social liberal diganti dengan ilmu social perfeksionis yang communitarian, yakni ilmui sosial yang memperhatikan nilai-nilai pada sebuah objek penelitian, komunitas. Ilmu social communitarian adalah ilmu social jenis partisipatory reseach, bukan ilmu sosial empiris analitis dan bukan juga ilmu social terapan. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid)
PARADIGMA ILMU SOSIAL
Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Ada yang menyatakan paradigma merupakan citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan yang seharusnya dikemukan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Paradigma diibaratkan sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (world view). (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social). George Ritzer mendefisikan tentang paradigma gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Ia memberikan batasan apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab, dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan unit consensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk memalakukan pemilihan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Dengan paradigma menjadikan suatu pengetahuan akan mendapatkan informasi teori yang dapat mengkoordinasikan pengetahuan dan memberikannya makna. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Sebagai suatu konsep paradigma pertama kali dikenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya the structure of scientific revolution, kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs melalui bukuya socilology of sociology 1970. Tujuan utama dalam bukunya Kuhn; ia menentang asumsi yang berlaku secara umum dikalangan ilmuan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuan pada umumnya berdiri bahwa perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi secara komulatif. Kuhn menilai pandangan demikian merupakan mitos yang harus dihilangkan. Sedangkan tesisnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukan terjadi secara komulatif tetapi secara revolusi. Perubahan yang utama dan penting dalam ilmu pengetahuan terjadi akibat dari revolusi, bukan karena perkembangan secara komulatif. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).
Paradigama social mengacu pada orientasi perceptual dan kognitif yang dipakai oleh masyarakat komunikatif untuk memahami dan menjelaskan aspek tertentu dalam kehidupan social. Paradigma social terbatas pada pandangan dua hal; pertama, paradigma social yang hanya dimiliki oleh kalangan terbatas dan tidak memlulu diterima oleh anggota masyarakat. Masyarakat yang menerima paradigma ini masyarakat ilmiah, terciptanya komunikasi guna menciptakan paradigma social. Kedua, paradigma sosial yang berlaku dalam aspek tertentu dari kehidupan dan bukan aspek yang menyeluruh. Paradigma social lebih terbatas dalam ruang lingkung penerimaan dari pada pandangan dunia yang berlaku, sebagai element dasar dari paradigma social merupakan pandangan dunia baik dalam komponen dasar, keyakinan atau system keyakinan dan nilai-nilai yang terkait. Sebagaimana dalam pandangan Stephen Cotgrove paradigma memberikan kerangka makna, sehingga pengalaman memberikan makna dan dapat dipahami. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
ILMU SOSIAL POSIVISTIK
Positivistic merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan.keyakinan faham aliran ini pada ontology realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dlam kenyataan berjalan sesuai dengan hokum alam (natural lows). Upaya penelitian untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana sesungguhnya realitas itu berjalan. Positivis muncul pada abad 19 yang dipelopori oleh Auguste Comte. Dalam pencapai kebenaran maka harus menanyakan lagsung pada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung pada peneliti yang bersangkutan. Metodologi yang digunakan eksperiment empiris atau metodologi yang lain agar temuan yang diperoleh benar-benar objektif dan menggambarkan yang sebenar-benarnya. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social).
Kaum positivistic mempercayai masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte mempercayai penemuan dalam hukum-hukum alam akan membukakan batas-batas yang pasti yang melekat dalam kenyataan social, dan ia menilai masyarakat bagaikan suatu kesatuan organic yang kenyataanya lebih dari jumlah bagian yang saling tergantung, tetapi tidak mengerti kenyataan ini. Oleh karena itu, metode penelitian empiris harus digunakan dalam kenyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagaian seperti halnya gejala fisik. Perkembangan ilmu tentang masyarakat bersifat ilmiah sebagai puncak dari proses kemajuan intelektual yang logis sebagaimana ilmu-ilmu telah melewatinya. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern)
Ilmu social positivistic digali dari beberapa pemikiran dari tokoh-tokohnya yakni Saint Simon (Prancis), Auguste Comte (Prancis), Herbert Spencer (Inggris), Emile Durkheim (Prancis), Vilfredo Pareto (Italia). Saint Simon menggunakan metodologi ilmu alam dalam membaca realitas sosial masyarakat, ia mengatakan bahwa dalam mempelakjari masyarakat harus menyeluruh dikarenakan gejala sosial saling berhubungan satu dengan yang lain dan sejarah perkembangan masyarakat sebennarnya menunjukan suatu kesamaan. Ilmu pengetahuan bersifat positif yang dicapai melalui metode pengamatan, eksperimentasi dan generalisasi sebagaimana digunakan dalam ilmu alam. Semua sejarah perkembagan social selalui disertai kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang menggambarkan perkembangan masyarakat disertai dengan perkembangan cara berfikir manusia. Cara berfikir manusia mulanya bersifat teologis, spekulatif tetapi kemudian berkembang mendekati kenyataan bersifat konkreat, oleh karena itu bersikap positif dan ilmiah. August Comte. Comte membagi sosiologi menjadi dua macam social dinamik dan social statis. Sosiologiu merupakan social dinamik yang digambarkan dengan teori yang menggambarkan kemajuan dan perkembangan masyarakat manusia. Comte menggambarkan bahwa sejarah umat manusia pada dasarnya merupakan ditentukan oeh pertumbuhan dari pemikiran manusia dan ilmu social merupakan haruslah merupakan hukum tentang perkembangan intelegensi manusia.
Perkembangan pemikiran manusia menurut Comte terbagi menjadi tiga macam teologi kerangka berfikirnya dalam tingkat pemikirannya menganggap bahwa setiap gejala terjadi dan bergerak berada dibawa pengaruh supra natural, metafisik dengan kerangka berfikir abstrak; menganggap bahwa alam semesta dan segala isi diatur adanya gerak perubahan oleh hukum–hukum alam, dan ilmiah dengan kerangka berfikir positivisktik yang beranggapan gejala alam dan isinya dapat dipahami dan diterangkan oleh kenyataan-kenyataan objektif/positif. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Herbert Spencer. Menurut spencer bahwa objek dari ilmu social hubungan timbal balik dari unsure-unsur masyarakat seperti pengaruh norma-norma tas kehidupan keluarga, hubungan antara lembaga politik dan lembaga keagamaan. Unsure dalam masyarakat memiliki hubugan yang tetap dan harmonis dan merupakan suatu integrasi. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar). Spencer memiliki kepercayaan bahwa manusia bersifat merdeka, dan setiap individu dengan bebas menggunakan adatnya, serta kebebasan itu harus tetap dijaga agar tidak dapat mengganggu kebebasan yang lain. Ia juga menjelsakan tentang pentingnya lembaga social dalam membentuk karakter individu, dan hubungan manusia dengan masyarakat merupakan proses dua jalur. Dimana individu mempengaruhi masyarakat dan masyarakat mempengaruhi individu. Spencer dalam memandang masyarakat mengunakan teori evolusi dari evolusi universal berubah menjadi evolusi homogen tidak menentu menjadi evolusi hetrogen dan menentu. Masyarakat menurutnya perkembangannya dari sederhana, menuju kompleks dan terspesialisasi. Ia dalam memandang masyrakat menggunakan analogi organisme sebagaimana dalam ilmu biologi. Secara sederhana menurut Spencer bahwa masyarakat dibentuk oleh individu. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Perbedaan pemikiran antara Comte dan Spencer tetapi saling melengkapi dalam tradisi ilmu social yang bercorak positivistic, Comte dalam memandang masyarakat dengan cara menjelaskan perkembangan ersepsi manusia, menekankan perlunya aktualisasi ide, dan Spencer menekankankan perlunya aktualisasi benda. Comte berusaha menginterpretasikan genetic dari fenomena yang membentuk alam dan Spencer menafsirkan genetic dari feomena yang membentuk alam. Comte lebih bersifat subjektif sedangkan Spencer bersifat objektif. Spencer tidak hanya tertarik pada perkembangan ide, tetapi mengembangkan ide pada perubahan korelatif dalam organisasi social, tertib social struktur, maupun progress. Teori yang dimiliki oleh Spencer berupa analisa objektif seperti untuk pertumbuhan, evousi linier, multilinier, tipe-tipe social, dan good society. Kemudian pemikirannya diterjemahkan menjadi diferensisasi sebagai interelasi dan integrasi berbagai aspek penting dalam system masyarakat. Ilmuwan social yang diajurkan oleh Spencer berusaha untuk keluar dari bias dan sentimen tertentu. Ia ingin menggambarkan bahwa betapa upaya mempertahankan ide dan kepentingan material cenderung mewarnai dan mendistorsikan persepsi seseorang dalam memahami realitas sosial. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Emile Durkheim. Titik tekan kajian Durkheim berlwanan dengan kajian dari Spencer bahw individu dibentuk oleh masyarakat. Asumsi yang paling fundamental dalam pandangan Durkheim gejala social yang riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta prilakunya dan berbeda dari karakteristik psikologi, biologi atau karakteristik individu yang lain. Gejala social atau fakta social yang riil dapat dielajari dengan metode-metode empiric, yang memungkinkan tentang ilmu yang membahas masyarakat dapat dikembangkan. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern). Jiwa suatu kelompok sangat mempengaruhi individu, ia mengatakan bahwa kesaaran kolektif berbeda dengan kesadaran individu. Kata durkheim aturan yang berada diluar kontrak memungkinkan diadakannya kontrak-kontrak social yang mengingkat kontrak dan menentukan sah tidaknya suatu kontrak. Aturan yang diluar kontrak inilah yang dikatakan sebgai kesadaran kolektif. Durkheim memberikan sifat yang ada pada kesadaran kolektif yakni exterior dan constraint, exterior berada diluar individu yang masuk kedalam individu dalam erwujudan sebagai aturan moral, agama dan yang lain. Sedangkan untuk constraint merupakan kesadaran yang bersifat memaksa. Kesadaran kolektif merupakan consensus masyarakat yang mengatur hubungan social diantara masyarakat yang bersangkutan. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Kajian dalam ilmu social menurut Durkheim melakukan pembacaan terhadap realitas social dengan cara makrao dengan menggunakan pendekatan fakta social. Fakta social suatu kenyataan yang memiliki karakteristik khusus yakni mengandung tata cara bertindak berfikir dan merasakan yang berada diluar individu yang ditamankan dengan kekuatan koersif. Fakta social merupakan cara bertindak, yang memiliki cirri-ciri gejala empiric, yang terukur eksternal, menyebar dan menekan. Kekuatan koersif merupakan kekuatan untuk menekan individu. Fakta social dapat dikaji melalui data diluar pikiran manusia, studi yang trukur dan emirik merupakan koreksi terhadap Comte dan Spencer. Fakta social merupakan kumpulan fakta individu, tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu angka social. Angka merupakan representasi individu yang berkumpul sehingga menjadi plural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Vilfredo Pareto. Menurut Pareto dalam ilmu social bahwa ia mengamati fakta-fakta atau kenytaan secara objektif melalui penalaran logika. Observasi atau eksperimentasi terhadap fakta tidak membutuhkan pra anggapan yang diwarnai suatu prasangka. Dalam logico experimental ada dua elemen dasar yakni yang dinamakan logical reasoning dan observation of the fact. Teori social yang ada selama ini bersifat dogmatis, metafisis, non logis, absolute dan bersifat moral saja. Tindakan bagi Pareto merupakan didasarkan pada logis. Masyarakat baginya merupakan fenomena ketergantungan, karena factor yang telah dibentuk oleh masyarakat factor yang saling bergantung dan salaing mempengaruhi. Ilmu sosial baginya merupakan yang mempelajari uniformitas dalam masyarakat. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi). Pareto mempercayai bahwa konsep ekulibrium sangat berguna dalam memahami kehidupan social yang kompleks. Ia mencoba menjelaskan pertautan variable yang diyakini maisng-masing menyumbangkan keseimbangan dalam masyarakat. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Dalam ilmu social positivistic bersifat bebas nilai, objektif dan dalam perubahan yang terjadi dalam masyarkat memandangnya pada evolusi social. Perubahan yang terjadi dengan evolusi tersebut yang menekannkan pada ekulibrium ini, sehingga dalam ilmu social positivistic lebih bersifat status quo dan tidak peka perubahan. Pandangan yang digunakan dalam ilmu ini menggunakan pendekatan makro melihat realitas sosial dengan menggunakan system dan bagaiman individu terbentuk oleh system sehingga bersifat deterministic. Asumsi dasar dalam ilmu sosial positivistic memandang masyarakat bagaikan sebuah system organisme dimana satu yang lain saling berkaitan dan terdiri dari berbagai macam struktur dan menjalankan fungsinya masing-masing. Jika diturunkan dalam metodologi penelitian maka tujuan dari penelitian untuk menjelaskan dan memaparkan tentang gejala social, penelitian harus objektif terukur, bebas nilai, dan peneliti bersifat netral. Penelitian ini dapat digunakan untuk generalisasi terhadap persolan yang lain. Metode penelitian merupakan penelitian kuantitatif, denan menggunakan pencarian ata melalui angket dan kuosioner.
ILMU SOSIAL KONSTRUKTIVISME
Paradigma konstruktivis dalam ilmu social merupakan sebagai kritik terhadap ilmu social positivistic. Menurut paradigma ini, yang menyatakan bahwa realitas osial secara otologis memiliki bentuk yang bermacam-macam merupakan konstruksi mental, berdasarkan pengalman social, bersifat local dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukan. Realitas social yang diamati seseorang tidak dapat digeneralisir pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivistic. Epistemologi antara pengamatan dan objek dalam aliran ini bersifat satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi antara keduanya. Aliran ini menggunakan metodologi hermeneutic dan sialektis dalam proses mencapai kebenaran. Metode yang pertama kali dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang-perorang, kemudian membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang sehingga tercapai suatu konsensus tetang kebenaran yang telah disepakati bersama. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social).
Konstruktivis dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi realias social. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Oleh Karen aitu tuga ilmu social dalam hal ini mengamati cara agen melakukan penafsiran, memberi makna terhadap realitas. Makna berupa partisipan agen melakukan konstruk melalui proses partisipasi dalam kehidupan dimana ia hidup. Dalam tradisi konstruktivis mereka ingin keluar motif dan alasan tindakan individual guna memasuki ranah structural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Max Weber. Weber mengajukan bahwa dalam ilmu sosial yang dipakai menggunakan oendekatan verstehende. Ia melihat ilmu social berusaha untuk memahami tindakan-tindakan social dan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut. Yang menjadi kajian pokok dalam ilmu ini menurutnya bukanlah bentuk subtansial kehidupan masyarakat maupun nilai objektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yang nyata dari tindakan perorangan yang timbul dari alas an-alasan subjektif. Verstehende merupakan motode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengintari peristiwa social histories. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi). Weber melihat bahwa individu yang memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan beberapa catatan, bahwa tindakan social individu berhubungan dengan rasionalitas. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Tindakan social yang dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tinakan yang bersifat "membatin", tau bersifat subjektif yang mengkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Dari pandangan dasar yang dimiliki oleh Weber maka ia menganjurkan penelitiannya dalam bidang ilmu ini meliputi; tindakan manusia yang mengandung makna, tindakan nyata bersifat subjektif dan membatin, tindakan pengaruh positif dari situasi dan tindakan tu diarahkan kepada beberapa orang atau individu. Mempelajari tindakan social dan ia menganjurkan lewat penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Peneliti menginterpretasikan tindakan si actor dalam artian mendasar dengan maksud memahami motif tindakan si actor. Cara memahami motif tindakan actor Weber memberikan dua cara, pertama melalui kesungguhan, mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman actor. Peneliti menempatkan diri pada actor dan berusaha memahai sesuatu yang dipahi oleh actor. Metode pemahaman yang ditawarkan oleh Weber bersifat pemberian penjelasan kausal terhadap tindakan social manusia. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).
Perbedaan antara Weber dan Durkheim tentang kenyataan social. Bagi Durkheim bahwa ilmu social mempelajari fakta social yang bersifat eksternal, memaksa individu. Kenyataan social bagi Durkheim sebagai situasi yang mengtasi individu berada dalam suatu tingkatan yang bebas. Sedangkan bagi Weber keyataan social merupakan sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan social. Durkheim memiliki pndangan berhubungan dengan realisme social, melihat masyarakat sebagai sautan yang riil, berada secara terlepas dari individu yang kemudian masuk didalamnya menurut prinsip-prinsip yang khas, tidak mencerminkan individu-individu yang sadar. Teori ini membandingkan masyarakat sebagai bentuk organis biologis dalam artian dalam menilai masyarakat merupakan suatu kenyataan yang lenih dari sekedar jumlah bagiannya. Sedangkan Weber berposisi nominalis, dengan artian bahwa individu yang riil secara objektif, dan masayarakat merupakan suatu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu. Analisis Weber dalam memandang individu merupakan suatu yang ekstrim, dan ia mengakui bahwa dinamika sejarah merupakan besar dan pengaruhnya terhadap individu. Pandangan Weber bersifat subjekif dan tujuannya untuk masuk kedalam arti subjektif yang berhungan dengan kategori interaksi manusia. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern).
Pemikiran Weber dari tindakan social dan metode verstehende berkembang dibawa oleh beberapa ilmuan menjadi tradisi konstruktivisme. Tradisi ini dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, mereka berangkat dari manusia mengkonstruksi realitas social dari perfektif subjektif dapat berubah menjadi objektif. Proses konstruk mulai pembiasaan tindakan yang memungkinkan actor-aktor mengetahui tindakan itu berulang-ulang dan memberikan keteraturan. Hubungan individu dengan institusi bersifat dialektik yang berisi tiga momen yakni,"masyarakat merupakan produk manusia, masyarakat merupakan realitas objektif, manusia produk masyarakat". Bahwa makna-makna umum dimiliki bersama dan diterima dilihat sebagai dasar dari organisasi social. Konstruksi social berusaha menyeimbangkan struktur masyarakat dengan individu. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Aliran konstruktivis merupakan respon terhadap positivistic dan memiliki sifat yang sama dengan positivistic, sedangkan yang membedakan objek kajiannya sebagai star awal dalam memandang realitas social. Positivistic berangkan dari system dan struktur social sedangakan konstruktivis berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas sosial. Jika mau diturunkan dalam metodologi penelitian menjadi tujuan ilmu social ini memahami realitas social, ilmu bersifat neutral dan bebas nilai. Asumsi dasar yang digunakan bahwa manusia sebagai mahluk yang berkesadaran. Penelitian yang dipakai merupakan penelitian kualitatif dengan metode pencarian data dengan wawancara dan observasi. Dalam memandang masyarakat merupakan realitas yang beragam dan memiliki keunikatan tersendiri, sehingga dari hasil penelitian yang didapatkan tidak boleh untuk menggeneralkan pada objek yang lain.
ILMU SOSIAL KRITIS
Ilmu social kritis tidak dapat dilepaskan dari pemikiran filosof kontemporer di Jerman yang mencoba mengembangkan teori Marxian guna memecahkan persolan yang dihadapi sekarang. Teori social ini merupakan upaya pengkrtisan terhadap the father dari filsafat Jerman dan mengkritisi pemikiran Marx yang telah menjadi ideology bukannya ilmu. Marx yang telah menjadi ideology dapat dilihat pada Negara komunis sehingga ajaran Marx membatu dan tidak besifat transformative. Secara garis besar Mazhab Frankfurt dalam kelahirannya upaya mengkritisi pemikiran ilmu social yang selama ini dan realitas sekarang. Ritzer mencoba memetakan tentang sasaran kritik para pemikir dari mazhab Frankfurt yakni ada lima macam, pertama kritik terhadap dominasi ekonomi, kritik terhadap sosiologi pada intinya mengatakan bahwa sosiologi bukanlah sekedar ilmu atau metode sendiri tetapi harus dapat mentransformasikan struktur social dan membantu manusia keluar dari tekanan struktur, kritik filsafat positivistic yang memandang manusia sebagai objek (alam) dan tidak tanggap terhadap perubahan, kritik terhadap masyarakat modern yang telah dikuasai oleh revolusi budaya, kritik budaya (birokrasi) yang menyebabkan masyarakat dibatasi oleh mekanisme adminitrasi, dan melahirkan budaya semu yang melahirkan represifitas struktur yang melumpuhkan manusia.
Munculnya pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan melwan krisis pada waktu saat itu, ia kecewa terhadap pengaruh filsafat positivistic yang melahirkan perfektif objektivistik dan pengaruhnya masuk kedalam seluru disiplin ilmu pengetahuan. Bagi mereka, dengan pemikiran yang telah diiajukan oleh positivistic telah melahirkan wawasan dan cara pemikiran jangka pendek. Kenyakinan positivisme telah menimbulkan krisis, oleh karena itu ia menawarkan pemikiran alternative "teri kritis". Akar pemikiran Mazhab ini dapat ditelusuri dari Marx, Hegel yang telah membrikan banyak ilustrasi dan memberikan pencerahan. Analisis yang digunakan frankfutr menggunakan dua proporsi yang utama. Pertama pemikirn seseorang merupakan produks masyarakat dimana ia hidup. Pemikiran manusia terbentuk secara social, maka tidak mungkin orang mencapai pengetahuan dan kesimpulan objektif, bebas dari pengaruh perkembangan zaman dan pola-pola konseptual yang ada dimana manusia hidup. Kedua, ilmuan dan intelektual tidak dapat objektif, mencoba bersikap bebas nilai dalam membangaun perfektif pemikirannya. Seorang intelektual harus kritis memahami prilaku masyarakat dan menjadi orientasi menjadikan orang menyadari apa yang harus mereka kerjakan sesuai yang mereka inginkan dalam perubahan. Pemikiran kritis menyadari bahwa pemikiran buklanlah sesuatu yang memiliki keunikan objektif, mereka percaya bahwa di dunia pengetahuan terdapat kebenaran dan engetahuan yang riil. Pendekatan ini yang mencoba membedakan mainstream pengetahuan positivis yang memisahkan peran dan nilai dalam analisisnya. Positivisme yang mereka pakai lebih mengacu pada kajian empiric terhadap hipotesis dan pengetahuan objektif. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Kata kunci kritik merupakan upaya untuk memahami dalam teori kritis, kritik dalam teori ini merupakan mengupayakan suapaya teori bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diupayakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, politik dan kebudayaan yang telah diselubungi oleh ideology yang telah menguntungkan pihak-pihak tertentu dan sekaligus mengasingkan manusia dalam kehidupan masyarakat. Kata kritik berakar dalam tradisi filsafat itu sendiri dan kata tersebut sudah dipakai sejak zaman pencerahan. Kritik merupakan refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri rasio dalam sejarah. Kritik juga merupakan refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi tentang asal-usul tentang kesadaran. Pada generasi pertama mereka melontarkan kritik terhadap saistisme atau positivisme yang telah menghasilkan masyarakat yang irasional dan ideologis. Teori kritis mengupayakan mengkaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praksis. Teori kritis menurut Horkheimer memiliki emapat karakter, pertama teori ini bersifat histories dengan artian diperkembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konreat dan berpijak diatasnya. Teori ini merupakan kritik immanen terdapat yang nyata dan tidak manusiawi. Kedua, teori kritis disusun berdasarkan dalam kesedaran keterlibatan histories para pemikirnya, dengan maksud mereka menyadari bahwa teori ini dapat terjatuh pada dataran ideology. Misalkan dalam teori tradisional menggatungkan keshahihannya dengan verifikasi empiris. Sedangkan untuk teori ini menggantungkan pada evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri. Ketiga teori ini memiliki kecurugaan terhadap masyarakat, dikarenkan dalam teori ini mengupayakan untuk mengurai kedok ideology yang dipakai untuk menutupi ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat. Keempat, teori ini menguapakan teori dengan praksis, dengan maksud teori ini mengupayakan untuk melakukan transformasi social dan dilakukan lewat praksis.
Teori kritis dalam mengkritik masyarakat modern dilakukan dengan dua cara; pertama, menelusi akar-akar berfikir positivistic masyarkat modern dengan melakukan proses rasionalisasi dalam masyrakat barat. Kedua, menunjukan cara berfikir positivistic yang telah mewujudkn dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlaku sebagai ideology yang diterima sukarela oleh masyarakat modern. Mereka ingin mengkritik masyarakat modern sebagai struktur yang telah menindas, melainkan terlebih cara berfikir positivistiklah yang menjadi ideology dan mitos. Rasionalitas pada zaman ini berfungsi sebagai ideology dan dominasi, dan menjadikan cara berfikir saitis telah membeku menjadi ideology atau mitos. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan mengamdi kepada manusia melainkan manusia yang mengabdi kepada ilmu pengetuan dan teknologi. Menurut mazab ini manusia sekarang tidak ditindas oleh manusia yang lain tetapi ditindas oleh system teknologi mencengkram segenap alamiah dan social manusia. Apa yang meeka sebut iu merupakan rasional teknologis, merupakan karakter dari zaman rasional sekarang ini. Pada genrasi pertama mereka mengalami jalan buntu dikarenakn mereka tidak dapat menemukan jalan keluar dari masyarakat yang mereka kritik. Pada teori kritis pertama konsep praksis merupakan kerja dalam pandangan Marxian. Praksis emansipatoris yang mereka lakukan dapat menimbulkan perbudakan baru karena emansipasi penguasaan baru. Oleh karena itu Habermas sebgai generasi kedua menawarkan praksis kdisamaping praksis kerja. Hal tersebut dikarenakan komunikasi msih ada kebebasan sehingga masih ada tempat bagi rasio kritis. Degan ide komuikasi Habermas mengtasi positivisme dengan menunjukan kjeterkaitan antara teori dan praktik. Praksis kerja dan komunikasi merupakan dua tindakan dasar manusia yang menentukan manusia sebgai spesies bergerak dan hidup di dalam duania.
Pengetahuan dan prakis manusia dapat mengarahkan pengetahuan, pertama sebagai spesies manusia memiliki kepentingan untuk mengontrol lingkungan eksternalnya melalui pranata-pranata kerja dan kepentinganingin mewujudkan dirinya dalam pengetahuan informative yang secara metodis disistematikan dalam ilmu empiris analitis. Kedua, manusia memiliki kepentingan praksis untuk menjalin pemahaman timbale balik melalui perantaraan bahasa dan kepentingan ini, mewujudkan dirinya dalam pengetahuan interpretative dan sistematiskan metodis dalam ilmu social histories-hermeneutis. Manusia memiki kepnetingan partisipatoris untuk membebskan diri dari hambatan ideologis melalui perantaraan kekuasaan dan kepentingan ini mewujudkan dirinya dalam pengetahuan analitis yang disistematiskan ilmu social kritis. (Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi).
Ilmu social kritis jika mau diderivasikan dalam metodologi penelitian, merupakan suatu ilmu yang emansipatoris dan untuk melakukan transformasi social. Ilmu ini tidak bebas nilai, berfihak kepada kemanusiaan dan melakukan pemberdayaan sehingga tercipta masyarakat yang berkeadilan. Metode penelitain yang digunakan dengan penelitian kualitatif atapun kuantitatif yang penting bukan memaparkan tentang realitas social yang terjadi tetapi melakukan perubahan guna tercipta masyarakat yang berkeadilan. Data diperoleh dengan wawancara, observasi atapun dengan angket, serta kuesioner guna melakukan pembacaan awal. Peneliti bersikap partisipatif dengan yang ditelitii dan tidak ada jarak dan langsung memberikan penyadaran dan melakukan refleksi diri sesuai apa yang telah dicita-citakannya.
ILMU SOSIAL PROFETIK
Ilmu Social Profetik (ISP) merupakan tugas yang berat yang harus diemban agar dapat menjadikan nilai-nilai Islam dapat diterima sehingga Islam sebagai rahmat. Secara kelahirannya ISP merupakan suatu hasil dari pemikiran tokoh yang prihatin melihat realitas sekarang dan mencoba untuk melakukan transformasi guna menciptakan yang lebih baik. ISP sebagai produks dari pemikiran perlu mendapatkan pengkritisan sebagai sarana pembenahan baik segi teori ataupun metodologinya sehingga ISP dapat sejajar dalam paradigma ilmu social yang lain. ISP selama ini, merupakan suatu gerilya intelektual dan masih dimiliki oleh kalangan akdemisi tetapi hanya sekedar wacana dan discausce. Pemahaman kalangan akademisi tentang ISP belum dapat disejajarkan paradigma ilmu social yang lain. Pemahaman tersebut menjadikan akademisi kurang begitu serius, menjadikan ilmu ini setara dan sejajar dengan paradigma ilmu social yang lain bercorak liberal ataupun yang perfeksionis. Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang lebih dalam tentang ISP guna dapat merekonstruksinya, agar ISP dapat digunakan untuk melihat dan menyelesaikan problem social yang selama ini terjadi. Untuk lebih jauh dapat dilihat pemikiran tokoh yang mencoba melontarkan ISP sebagai alternative dalam teori social kontemporer.
Sebagaimana dalam sosiologi pengetahuan ISP sebagai produks dari pemikiran agar tidak membeku, menjadi ideology dan menjadi mitos baru, maka perlu melakukan refleksi diri dan evaluatif. ISP yang telah dilontarkan oleh Kuntowijoyo dalam kelahirannya tidak dapat dilepaskan dari realitas yang terjadi pada saat itu. Secara sederhana kelahirannya ISP yang digagas oleh Kunto dapat dipetakan menjadi dua macam; pertama interaksi Kunto dengan berbagai macam ilmu social sehingga memunculkan respon atau terhadap ilmu social yang ada, dan tokoh yang memiliki karakter transformative. Kedua, respon terhadap kondisi realitas (kerangka berfikir atau arus besar pemikiran yang berkembang) sekarang dimana ISP dilontarkan.
Pertama, interaksi Kunto dengan berbagai macam ilmu social. Kunto merupakan sosok intelekual yang senang membaca, hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang berkaitan dengan teori perubahan social ia sempat juga menggunakan teori social dari tokoh Marx, Weber, dan Durkheim. Selanjutnya dalam melihat periodesasi perkembangan umat Islam Kunto menggunakan analisis dari Comte. Setelah melalukan kajian terhadap ilmu social, ia mencoba memberikan respon ataupun tanggapan terhadap yang ia kaji. ISP merupakan ilmu social alternative terhadap ilmu social yang selama ini berkembang cenderung bercorak liberal dan logika positivistic. Sebagaimana dalam era post modernis ilmu social saling berevolusi dalam dataran paradigmatic. Begitupula, dengan ISP merupakan kritisi terhadap tiga ilmu social yang selama ini berkembang seperti ilmu social yang bercorak posiivistik, konstruksionisme yang bercorak liberal dan ilmu social yang bercorak kritis memiliki sifat perfeksionis.
Ilmu social positivistic, dimana dalam memandang masyarakat bagaikan sebuah system atau struktur. Letak pengkritisian terhadap ilmu ini dalam emandang manusia tidak memiliki kebebasan, individu bersifat deterministic, ilmu ini tidak megupayakan untuk melaklukan transformasi social, tetapi ilmu ini lebih cenderung mempertahankan status quo. Ilmu social positivistic dipelopori oleh Comte dan di kembangkan oleh Durkheim. Sedangkan untuk ilmu social konstruktivis dipelopori oleh Weber, ilmu social konstruktivis sama dengan ilmu social positivistic ia bersifat liberal. Sedangkan yang membedakan dari ilmu ini, menjelaskan dan memaparkan relaitas social itu beragam dan memiliki keunikan tertentu sehingga tidak dapat digenaralkan. Dalam ilmu social konstruktivis memandang manusia sebagai subjek yang bebas dan memiliki kesadaran dan membentuk system. Sedangkan pengkritisian terhadap ilmu kritis yang bersifat perfeksionis, Kunto memaparkan dengan meminjam analisisnya Micheal Root. Bahwa ilmu social yang bersifat perfeksinis seperti aliran Marxian, Freudian, dan Feminisme jatuh dalam dataran ilmu yang deterministic. Ilmu tersebut jatuh dalam dataran determinstik dikarenakan seperti Marxian mengandung determinisme ekonomi, Freudian dalam determinisme biologis sedangkan feminisme mengalami determinisme seksual. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid). Melihat ilmu social yang berkembang di era sekarang maka ia menawarkan ISP sebagai ilmu yang serat nilai, berfihak dan mengupayakan transformasi social, seperti ilmu social kritis yang telah digagas oleh Mazhab Frankfurt yang telah dikembangkan oleh Jurgen Habermas.
Interakasi Kunto dengan tokoh-tokoh yang mempengaruhinya seperti Moeslim Abdurrahman, Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Moeslim Abdurrahman dengan pemikiran teologi trasformatif, dalam hal ini Kunto lebih memilih ilmu social dari pada teologi. Hal tersebut dikarenakan akan membingungkan dan kurang cocok diterjemahakan, bila menggunakan teologi maka dapat memunculka teologi yang lain seperti teologi pembebasan, teologi lingkungan dan yang lain. Sedangkan pemahan umat tentang permasalah teologi merupakan yang tetap tidak berubah, oleh karena itu ia lebih memakai ilmu social. Lagian pula, teologi transformative yang digagas oleh Moeslim Abdurrahman lebih tetapi diterjemahkan dalam ilmu social transformative. Pergatian dari teologi dalam ilmu social, hal ini dikerenakan jika gagasan pembaharuan teologi agar agama diberi tafsiran baru dalam rangka memahami realitas social, metode yang efektif yang dimaksud dalam rangka mengelaborasi ajaran agama kedalam suatu teori social. Lingkup dari sasaran ilmu social tersebut lebih dari rekayasa untuk transformasi social. Lingkup bukan dalam dataran permanent seperti teologi, tetapi aspek yang temporal, empiris dan histories. Maka kunto lebih cenderung menggunakan ilmu social ketimbang teologi. Kebutuhan yang dilakukan dalam trasformasi social bukan saja perangkat yang bersifat objektif, tetapi melalui teori social dapat melakukan transformasi bersifat objektif dan juga merupakan lahan garap yang bersifat empiris.
Interaksi Kunto dengan Muhammad Iqbal. Kunto mengambil kata profetik ia mendapatkan gambaran tetang konsep kesadaran profetis yang dilontarkan oleh Iqbal dalam bukunya Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam. Muhammad Iqbal menggambarkan tentang mi'rajnya Nabi Saw, yang bertemu dengan Tuhan, seandainya nabi seorang mistikus atau sufi, ia pasti tidak akan kembali karena sudah tentram dan tetang bersama-Nya. Tetapi ini lain, Nabi kembali ke bumi untuk melakukan perubahan dalam rangka merubah sejarah melakukan transformasi profetik. Selanjutnya kata profetik juga terinspirasi dari seorang Filosof Prancis Roger Garaudy dalam bukunya Janji-Janji Islam, disana dipaparkan bahwa peradaban Barat tidak memuaskan dikarenakan terombang-ambing dalam kedua kutub besar yakni idealisme dan materialisme. Filasafat barat (kritis) lahir yang mempertanyakan bagaimana pengetahuan intu dimungkinkan , lalu ia mengusulkan agar membalik pertanyaan agar bagaimana wahyu dimungkinkan. Dalam rngka untuk menghindari kehancuran peradaban maka pilihan satu-satunya agar menggunakan kembali warisan Islam (filsafat kenabian). Filasfat barat telah "membunuh" Tuhan dan manusia, maka ia menganjurkan untuk menggunakan filsafat kenabian dan mengakui wahyu sebagai salah satu dari sumber kebenaran.
Kedua, kondisi realitas sekarang. Realitas sekarang merupakan zaman post modernism. Sebagaimana dalam tradisi modernism yang muncul dari abad pertengahan pada masa pencerahan yang ditandai dengan lontaran dari seorang filosof Prancis Rene Descartes dengan semboyannya catigo ego sum. Menurut Kunto dalam zaman pencerahan yang berkembang menjadi modernisme terdapat dua ciri yang penting dan yang membedakan dengan era post modernism. Pada zaman modern merupakan kerangka berfikir sekuleristik, memandang dengan differentiation (pemisahan) dan terjadinya humanisme antroposentris. Kerangka pikir sekuleristik mencoba memisahkan dengan tegas antara agama dengan ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan Negara. Modernisme yang dikumandangkan humanisme antroposentris berkembang bukannya telah memberikan kemerdekaan terhadap manusia tetapi sebaliknya, yang terjadi sampai sekarang adalah dehumanisasi. Dehumanisasi dikarenakan manusia dengan menciptakan ilmu pengethuan dan teknologi yang memiliki tujuan utama untuk mempermudah manusia, tetapi sekarang manusia terjebak oleh system yang telah dibuat menjadikan manusia telah diperbudak oleh system dan teknologi itu. Sebagaimana yang telah dikemukaka oleh Mazhab Frankfurt kerangka pikir modernisme menjadi rasional teknokratis atau dalam bahasa Herbert Marcus menjadi manusia satu dimensi.
Realitas sekarang merupakan era post modernisme dimana dalam zaman ini merupakan kritik terhadap modernism dan patologi yang dihadapinya. Post modernisme memiliki cirri yang penting adalah de-differentiation. Post-modernism merupakan penyapaan kembali antara agama dan ilmu pengethuan dan tidak berdiri sendiri atau terpisah. Agama sebagai ispirasi dan sumber nilai/etik dari ilmu pengetahuan. Penyapaan terhadap agama dari ilmu pengetahuan ini yang mencoba melakukan integrasi antara ilmu dengan agama guna menjawab problem modernitas dimana terjadinya dehumanisasi dan kerusakan ekologi. Melihat era sekarang maka ISP memiliki peluang agar dapat diterima sebagai salah satu disiplin ilmu dikarenakan ISP mencoba melakukan integrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama. Agama menjadikan nilai untuk melakukan transformasi social dan pengintegrasian nilai-nilai agama dalam masyarakat sehingga betuk transformasinya pun ada arahan kemana transformasi itu akan dibawa. Dengan ISP sebagai alat transformasi sedangkan bentuk transformasinya merupakan transfomasi profetik guna mewujudkan Khoirul Umat.
Cita-cita dalam ISP merupakan jawaban dari ilmu social transformative dikarenakan dalam ISP bukan saja menjelaskan bagaimana transformasinya tetapi untuk apa, oleh siapa dan diarahkan kemana dalam transformasinya, sedangkan dalam ilmu social transformative memiliki jawaban yang kurang jelas. ISP bukan hanya alat untuk melakukan transformasi tetapi diarahkan sesuai dengan cita-cita dan etis profetis. Cita-cita profetis dalam ISP mrupakan apa yang telah diidamkan oleh masyarakatnya. Cita-cita profetis diderivasi dari surat al Imran 110.
Artinya: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah Swt" (QS. al Imran; 110).
Ilmu social dinamakan demikian, karena ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehiduapan bersama sebagai objek yang dipelajari. Ilmu ilmu social belum memiliki kaidah dan dalil yang tetap dimana oleh bagian yang terbesar masyarakat, oleh karena itu ilmu social belum lama berkembang, sadangkan yang menjadi objeknya masyarakat terus berubah. Sifat masyarakat terus berubah-ubah, hingga belum dapat diselidiki dianalisis secara tuntas hubungan antara unsure-unsur dalam kehidupan masyarakat yang lebih mendalam. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan alam yang telah lama berkembang, sehingga telah memiliki kaidah dan dalil yang teratur dan diterima oleh masyarakat, dikarenakan objeknya bukan manusia. Ilmu social yang masih muda usianya, baru sampai pada tahap analisis dinamika artinya baru dalam datara tentang analisis dataran masyarakat manusia yang bergerak. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar).
Ditengah kehidupan masyarakat, banyak sumber pengetahuan yang bersifat taken for granted, sumber tanpa perlu diolah lagi tetapi diyakini akan membantu memahami realitas kehidupan ini. Masyarakat dapat langsung begitu saja memakai pengetahuan taken for granted tersebut sebagai sebuah pegangan yang diyakini benar atau berguna untuk meemmahami dunia dimana ia hidup. Jenis pengetahuan tanpa diolah lagi tentu saja banyak dan tersebar, mulai dari system keyakinan, tradisi agama, pandangan hidup ideology, paradigma dan juga teori, dan termasuk didalamnya teori social. Dalam masyarakat intelektual, terutama dalam tradisi positivisme lazim untuk mengambil sumber pengetahuan taken forr granted tersebut dari ranah paradigma dan teori. Kendati demikian, teori sebenarnnya bukan hanya untuk kalangan intelektual atau kalangan expert, mesti tidak sedikit yang berpandaangan hanya kalangan intelektual atau akademisi saja yang membaca realitas social tidak dengan telanjang, melainkan dengan kacamata teori tertentu. Memanga telah menjadi tradisi dikalangan intelektual dalam membaca realitas social dengan menggunakan kacamata atau teori tertentu. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Dalam beberapa hal, teori ilmiah berbeda dengan asumsi-asumsi yang telah ada dalam kehidupan sehari-hari dan secara tidak sadar telah dimiliki orang. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi suatu teori yang merupakan bagaian dari kegaitan ilmiah. Dalam memamasuki era pelahiran ini merupakan kajian dari teori yang eksplisit, sehingga menjadi objektif, kritis, dan lebih abastrak dari pada yang dilakasanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pemebentukan teori tidak pernah muncul dari awal, tidak mungkin bagi ahli teori social untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh pengalaman social pribadinya, tau pengaruh dari pengalaman ini cara pandang dunia social. Proses pembentukan teori berlandaskan pada images fundamenatal tertentu mengenai kenyataan social. Gambaran tersebut dapat melingkupi asumsi filosofis, dasar mengenai sifat manusia dan masyarakat, atau sekurang-kurangnya pandangan yang mengatakan bahwa keterturan tertentu akan dapat diramalkan dalam dunia social. Teori ilmiah lebih menggunakan metodologi dan bersifat empiris. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern)
Pengklasifikasian dalam ilmu social terdapat tiga perfektif besar yang berkembang selama ini, yakni perfektif structural fungsional, structural konflik serta konstruksionisme. Ketiga aliran tersebut masing-masing mengkritik dengan mematahkan proposisi, konsep maupun teori yang ditawarkan satu sama lain. Namun kritik tersebut tidak dapat menggoyahkan hegemoni mereka masing-masing dan ketiganya masih memiliki pengikut yang setia. Ketiga teori social tersebut, merupakan upaya dalam memahami realitas kehidupan. Dengan teori social diharapkan orang dapat menghimpunddan memaknai informasi secara sistematik bukan sja untuk menyumbang pengembangan teori, tetapi ebih penting lagi untuk memecahkan persolan dan untuk tujuan keberhasilan dalam mengarungi pergumulan kehidupan. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Micheal Root dalam philosophy of social science, membedakan jenis ilmu social, yakni ilmu social yang bercorak liberal dan ilmu social bercorak perfeksionis. Ilmu social liberal dikarenakan ia tidak berusaha mempromosikan suatu cita-cita social, nilai keajikan tertentu. Akar dari gagasan liberal ialah liberalisme dalam politik. Peneliti dalam ilmu ini bersifat neutralisme, tetapi tidak pernah terjadi dalam ilmu social. Lain halnya dengan ilmu social yang bercorak perfeksionis berusaha mencari wahana dari cita-cita mengenai kebajikan, jadi dalam ilmi ini bersifat partisipan. Ilmu social ini bersifat tidak bebas nilai, menghargai objek-objek ubjek yang diteliti dan bahkan menjadikannya sebagai subjek. Data yang baik dalam pandangan cita-cita liberal merupakan yang bebas dari muatan nilai, moral dan kebajikan objek penelitiannya, tetapi hal ini tidak akan pernah terjadi walaupun dalam penelitiannya bekerja keras. Contoh dari ilmu osial perfeksiois marxisme dan feminisme. Marxisme mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, sedangkan feminisme masyarakat tanpa eksploitasi seksual. Keduanya memiliki persamaan anti eksploitasi dan dominasi. Selanjutnya Root mengusulka agar dalam cita-cita ilmu social liberal diganti dengan ilmu social perfeksionis yang communitarian, yakni ilmui sosial yang memperhatikan nilai-nilai pada sebuah objek penelitian, komunitas. Ilmu social communitarian adalah ilmu social jenis partisipatory reseach, bukan ilmu sosial empiris analitis dan bukan juga ilmu social terapan. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid)
PARADIGMA ILMU SOSIAL
Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Ada yang menyatakan paradigma merupakan citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan yang seharusnya dikemukan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Paradigma diibaratkan sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (world view). (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social). George Ritzer mendefisikan tentang paradigma gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Ia memberikan batasan apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab, dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan unit consensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk memalakukan pemilihan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Dengan paradigma menjadikan suatu pengetahuan akan mendapatkan informasi teori yang dapat mengkoordinasikan pengetahuan dan memberikannya makna. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Sebagai suatu konsep paradigma pertama kali dikenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya the structure of scientific revolution, kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs melalui bukuya socilology of sociology 1970. Tujuan utama dalam bukunya Kuhn; ia menentang asumsi yang berlaku secara umum dikalangan ilmuan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuan pada umumnya berdiri bahwa perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi secara komulatif. Kuhn menilai pandangan demikian merupakan mitos yang harus dihilangkan. Sedangkan tesisnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukan terjadi secara komulatif tetapi secara revolusi. Perubahan yang utama dan penting dalam ilmu pengetahuan terjadi akibat dari revolusi, bukan karena perkembangan secara komulatif. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).
Paradigama social mengacu pada orientasi perceptual dan kognitif yang dipakai oleh masyarakat komunikatif untuk memahami dan menjelaskan aspek tertentu dalam kehidupan social. Paradigma social terbatas pada pandangan dua hal; pertama, paradigma social yang hanya dimiliki oleh kalangan terbatas dan tidak memlulu diterima oleh anggota masyarakat. Masyarakat yang menerima paradigma ini masyarakat ilmiah, terciptanya komunikasi guna menciptakan paradigma social. Kedua, paradigma sosial yang berlaku dalam aspek tertentu dari kehidupan dan bukan aspek yang menyeluruh. Paradigma social lebih terbatas dalam ruang lingkung penerimaan dari pada pandangan dunia yang berlaku, sebagai element dasar dari paradigma social merupakan pandangan dunia baik dalam komponen dasar, keyakinan atau system keyakinan dan nilai-nilai yang terkait. Sebagaimana dalam pandangan Stephen Cotgrove paradigma memberikan kerangka makna, sehingga pengalaman memberikan makna dan dapat dipahami. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
ILMU SOSIAL POSIVISTIK
Positivistic merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan.keyakinan faham aliran ini pada ontology realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dlam kenyataan berjalan sesuai dengan hokum alam (natural lows). Upaya penelitian untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana sesungguhnya realitas itu berjalan. Positivis muncul pada abad 19 yang dipelopori oleh Auguste Comte. Dalam pencapai kebenaran maka harus menanyakan lagsung pada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung pada peneliti yang bersangkutan. Metodologi yang digunakan eksperiment empiris atau metodologi yang lain agar temuan yang diperoleh benar-benar objektif dan menggambarkan yang sebenar-benarnya. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social).
Kaum positivistic mempercayai masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte mempercayai penemuan dalam hukum-hukum alam akan membukakan batas-batas yang pasti yang melekat dalam kenyataan social, dan ia menilai masyarakat bagaikan suatu kesatuan organic yang kenyataanya lebih dari jumlah bagian yang saling tergantung, tetapi tidak mengerti kenyataan ini. Oleh karena itu, metode penelitian empiris harus digunakan dalam kenyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagaian seperti halnya gejala fisik. Perkembangan ilmu tentang masyarakat bersifat ilmiah sebagai puncak dari proses kemajuan intelektual yang logis sebagaimana ilmu-ilmu telah melewatinya. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern)
Ilmu social positivistic digali dari beberapa pemikiran dari tokoh-tokohnya yakni Saint Simon (Prancis), Auguste Comte (Prancis), Herbert Spencer (Inggris), Emile Durkheim (Prancis), Vilfredo Pareto (Italia). Saint Simon menggunakan metodologi ilmu alam dalam membaca realitas sosial masyarakat, ia mengatakan bahwa dalam mempelakjari masyarakat harus menyeluruh dikarenakan gejala sosial saling berhubungan satu dengan yang lain dan sejarah perkembangan masyarakat sebennarnya menunjukan suatu kesamaan. Ilmu pengetahuan bersifat positif yang dicapai melalui metode pengamatan, eksperimentasi dan generalisasi sebagaimana digunakan dalam ilmu alam. Semua sejarah perkembagan social selalui disertai kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang menggambarkan perkembangan masyarakat disertai dengan perkembangan cara berfikir manusia. Cara berfikir manusia mulanya bersifat teologis, spekulatif tetapi kemudian berkembang mendekati kenyataan bersifat konkreat, oleh karena itu bersikap positif dan ilmiah. August Comte. Comte membagi sosiologi menjadi dua macam social dinamik dan social statis. Sosiologiu merupakan social dinamik yang digambarkan dengan teori yang menggambarkan kemajuan dan perkembangan masyarakat manusia. Comte menggambarkan bahwa sejarah umat manusia pada dasarnya merupakan ditentukan oeh pertumbuhan dari pemikiran manusia dan ilmu social merupakan haruslah merupakan hukum tentang perkembangan intelegensi manusia.
Perkembangan pemikiran manusia menurut Comte terbagi menjadi tiga macam teologi kerangka berfikirnya dalam tingkat pemikirannya menganggap bahwa setiap gejala terjadi dan bergerak berada dibawa pengaruh supra natural, metafisik dengan kerangka berfikir abstrak; menganggap bahwa alam semesta dan segala isi diatur adanya gerak perubahan oleh hukum–hukum alam, dan ilmiah dengan kerangka berfikir positivisktik yang beranggapan gejala alam dan isinya dapat dipahami dan diterangkan oleh kenyataan-kenyataan objektif/positif. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Herbert Spencer. Menurut spencer bahwa objek dari ilmu social hubungan timbal balik dari unsure-unsur masyarakat seperti pengaruh norma-norma tas kehidupan keluarga, hubungan antara lembaga politik dan lembaga keagamaan. Unsure dalam masyarakat memiliki hubugan yang tetap dan harmonis dan merupakan suatu integrasi. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar). Spencer memiliki kepercayaan bahwa manusia bersifat merdeka, dan setiap individu dengan bebas menggunakan adatnya, serta kebebasan itu harus tetap dijaga agar tidak dapat mengganggu kebebasan yang lain. Ia juga menjelsakan tentang pentingnya lembaga social dalam membentuk karakter individu, dan hubungan manusia dengan masyarakat merupakan proses dua jalur. Dimana individu mempengaruhi masyarakat dan masyarakat mempengaruhi individu. Spencer dalam memandang masyarakat mengunakan teori evolusi dari evolusi universal berubah menjadi evolusi homogen tidak menentu menjadi evolusi hetrogen dan menentu. Masyarakat menurutnya perkembangannya dari sederhana, menuju kompleks dan terspesialisasi. Ia dalam memandang masyrakat menggunakan analogi organisme sebagaimana dalam ilmu biologi. Secara sederhana menurut Spencer bahwa masyarakat dibentuk oleh individu. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Perbedaan pemikiran antara Comte dan Spencer tetapi saling melengkapi dalam tradisi ilmu social yang bercorak positivistic, Comte dalam memandang masyarakat dengan cara menjelaskan perkembangan ersepsi manusia, menekankan perlunya aktualisasi ide, dan Spencer menekankankan perlunya aktualisasi benda. Comte berusaha menginterpretasikan genetic dari fenomena yang membentuk alam dan Spencer menafsirkan genetic dari feomena yang membentuk alam. Comte lebih bersifat subjektif sedangkan Spencer bersifat objektif. Spencer tidak hanya tertarik pada perkembangan ide, tetapi mengembangkan ide pada perubahan korelatif dalam organisasi social, tertib social struktur, maupun progress. Teori yang dimiliki oleh Spencer berupa analisa objektif seperti untuk pertumbuhan, evousi linier, multilinier, tipe-tipe social, dan good society. Kemudian pemikirannya diterjemahkan menjadi diferensisasi sebagai interelasi dan integrasi berbagai aspek penting dalam system masyarakat. Ilmuwan social yang diajurkan oleh Spencer berusaha untuk keluar dari bias dan sentimen tertentu. Ia ingin menggambarkan bahwa betapa upaya mempertahankan ide dan kepentingan material cenderung mewarnai dan mendistorsikan persepsi seseorang dalam memahami realitas sosial. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Emile Durkheim. Titik tekan kajian Durkheim berlwanan dengan kajian dari Spencer bahw individu dibentuk oleh masyarakat. Asumsi yang paling fundamental dalam pandangan Durkheim gejala social yang riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta prilakunya dan berbeda dari karakteristik psikologi, biologi atau karakteristik individu yang lain. Gejala social atau fakta social yang riil dapat dielajari dengan metode-metode empiric, yang memungkinkan tentang ilmu yang membahas masyarakat dapat dikembangkan. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern). Jiwa suatu kelompok sangat mempengaruhi individu, ia mengatakan bahwa kesaaran kolektif berbeda dengan kesadaran individu. Kata durkheim aturan yang berada diluar kontrak memungkinkan diadakannya kontrak-kontrak social yang mengingkat kontrak dan menentukan sah tidaknya suatu kontrak. Aturan yang diluar kontrak inilah yang dikatakan sebgai kesadaran kolektif. Durkheim memberikan sifat yang ada pada kesadaran kolektif yakni exterior dan constraint, exterior berada diluar individu yang masuk kedalam individu dalam erwujudan sebagai aturan moral, agama dan yang lain. Sedangkan untuk constraint merupakan kesadaran yang bersifat memaksa. Kesadaran kolektif merupakan consensus masyarakat yang mengatur hubungan social diantara masyarakat yang bersangkutan. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Kajian dalam ilmu social menurut Durkheim melakukan pembacaan terhadap realitas social dengan cara makrao dengan menggunakan pendekatan fakta social. Fakta social suatu kenyataan yang memiliki karakteristik khusus yakni mengandung tata cara bertindak berfikir dan merasakan yang berada diluar individu yang ditamankan dengan kekuatan koersif. Fakta social merupakan cara bertindak, yang memiliki cirri-ciri gejala empiric, yang terukur eksternal, menyebar dan menekan. Kekuatan koersif merupakan kekuatan untuk menekan individu. Fakta social dapat dikaji melalui data diluar pikiran manusia, studi yang trukur dan emirik merupakan koreksi terhadap Comte dan Spencer. Fakta social merupakan kumpulan fakta individu, tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu angka social. Angka merupakan representasi individu yang berkumpul sehingga menjadi plural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Vilfredo Pareto. Menurut Pareto dalam ilmu social bahwa ia mengamati fakta-fakta atau kenytaan secara objektif melalui penalaran logika. Observasi atau eksperimentasi terhadap fakta tidak membutuhkan pra anggapan yang diwarnai suatu prasangka. Dalam logico experimental ada dua elemen dasar yakni yang dinamakan logical reasoning dan observation of the fact. Teori social yang ada selama ini bersifat dogmatis, metafisis, non logis, absolute dan bersifat moral saja. Tindakan bagi Pareto merupakan didasarkan pada logis. Masyarakat baginya merupakan fenomena ketergantungan, karena factor yang telah dibentuk oleh masyarakat factor yang saling bergantung dan salaing mempengaruhi. Ilmu sosial baginya merupakan yang mempelajari uniformitas dalam masyarakat. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi). Pareto mempercayai bahwa konsep ekulibrium sangat berguna dalam memahami kehidupan social yang kompleks. Ia mencoba menjelaskan pertautan variable yang diyakini maisng-masing menyumbangkan keseimbangan dalam masyarakat. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Dalam ilmu social positivistic bersifat bebas nilai, objektif dan dalam perubahan yang terjadi dalam masyarkat memandangnya pada evolusi social. Perubahan yang terjadi dengan evolusi tersebut yang menekannkan pada ekulibrium ini, sehingga dalam ilmu social positivistic lebih bersifat status quo dan tidak peka perubahan. Pandangan yang digunakan dalam ilmu ini menggunakan pendekatan makro melihat realitas sosial dengan menggunakan system dan bagaiman individu terbentuk oleh system sehingga bersifat deterministic. Asumsi dasar dalam ilmu sosial positivistic memandang masyarakat bagaikan sebuah system organisme dimana satu yang lain saling berkaitan dan terdiri dari berbagai macam struktur dan menjalankan fungsinya masing-masing. Jika diturunkan dalam metodologi penelitian maka tujuan dari penelitian untuk menjelaskan dan memaparkan tentang gejala social, penelitian harus objektif terukur, bebas nilai, dan peneliti bersifat netral. Penelitian ini dapat digunakan untuk generalisasi terhadap persolan yang lain. Metode penelitian merupakan penelitian kuantitatif, denan menggunakan pencarian ata melalui angket dan kuosioner.
ILMU SOSIAL KONSTRUKTIVISME
Paradigma konstruktivis dalam ilmu social merupakan sebagai kritik terhadap ilmu social positivistic. Menurut paradigma ini, yang menyatakan bahwa realitas osial secara otologis memiliki bentuk yang bermacam-macam merupakan konstruksi mental, berdasarkan pengalman social, bersifat local dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukan. Realitas social yang diamati seseorang tidak dapat digeneralisir pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivistic. Epistemologi antara pengamatan dan objek dalam aliran ini bersifat satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi antara keduanya. Aliran ini menggunakan metodologi hermeneutic dan sialektis dalam proses mencapai kebenaran. Metode yang pertama kali dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang-perorang, kemudian membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang sehingga tercapai suatu konsensus tetang kebenaran yang telah disepakati bersama. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social).
Konstruktivis dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi realias social. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Oleh Karen aitu tuga ilmu social dalam hal ini mengamati cara agen melakukan penafsiran, memberi makna terhadap realitas. Makna berupa partisipan agen melakukan konstruk melalui proses partisipasi dalam kehidupan dimana ia hidup. Dalam tradisi konstruktivis mereka ingin keluar motif dan alasan tindakan individual guna memasuki ranah structural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Max Weber. Weber mengajukan bahwa dalam ilmu sosial yang dipakai menggunakan oendekatan verstehende. Ia melihat ilmu social berusaha untuk memahami tindakan-tindakan social dan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut. Yang menjadi kajian pokok dalam ilmu ini menurutnya bukanlah bentuk subtansial kehidupan masyarakat maupun nilai objektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yang nyata dari tindakan perorangan yang timbul dari alas an-alasan subjektif. Verstehende merupakan motode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengintari peristiwa social histories. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi). Weber melihat bahwa individu yang memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan beberapa catatan, bahwa tindakan social individu berhubungan dengan rasionalitas. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Tindakan social yang dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tinakan yang bersifat "membatin", tau bersifat subjektif yang mengkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Dari pandangan dasar yang dimiliki oleh Weber maka ia menganjurkan penelitiannya dalam bidang ilmu ini meliputi; tindakan manusia yang mengandung makna, tindakan nyata bersifat subjektif dan membatin, tindakan pengaruh positif dari situasi dan tindakan tu diarahkan kepada beberapa orang atau individu. Mempelajari tindakan social dan ia menganjurkan lewat penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Peneliti menginterpretasikan tindakan si actor dalam artian mendasar dengan maksud memahami motif tindakan si actor. Cara memahami motif tindakan actor Weber memberikan dua cara, pertama melalui kesungguhan, mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman actor. Peneliti menempatkan diri pada actor dan berusaha memahai sesuatu yang dipahi oleh actor. Metode pemahaman yang ditawarkan oleh Weber bersifat pemberian penjelasan kausal terhadap tindakan social manusia. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).
Perbedaan antara Weber dan Durkheim tentang kenyataan social. Bagi Durkheim bahwa ilmu social mempelajari fakta social yang bersifat eksternal, memaksa individu. Kenyataan social bagi Durkheim sebagai situasi yang mengtasi individu berada dalam suatu tingkatan yang bebas. Sedangkan bagi Weber keyataan social merupakan sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan social. Durkheim memiliki pndangan berhubungan dengan realisme social, melihat masyarakat sebagai sautan yang riil, berada secara terlepas dari individu yang kemudian masuk didalamnya menurut prinsip-prinsip yang khas, tidak mencerminkan individu-individu yang sadar. Teori ini membandingkan masyarakat sebagai bentuk organis biologis dalam artian dalam menilai masyarakat merupakan suatu kenyataan yang lenih dari sekedar jumlah bagiannya. Sedangkan Weber berposisi nominalis, dengan artian bahwa individu yang riil secara objektif, dan masayarakat merupakan suatu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu. Analisis Weber dalam memandang individu merupakan suatu yang ekstrim, dan ia mengakui bahwa dinamika sejarah merupakan besar dan pengaruhnya terhadap individu. Pandangan Weber bersifat subjekif dan tujuannya untuk masuk kedalam arti subjektif yang berhungan dengan kategori interaksi manusia. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern).
Pemikiran Weber dari tindakan social dan metode verstehende berkembang dibawa oleh beberapa ilmuan menjadi tradisi konstruktivisme. Tradisi ini dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, mereka berangkat dari manusia mengkonstruksi realitas social dari perfektif subjektif dapat berubah menjadi objektif. Proses konstruk mulai pembiasaan tindakan yang memungkinkan actor-aktor mengetahui tindakan itu berulang-ulang dan memberikan keteraturan. Hubungan individu dengan institusi bersifat dialektik yang berisi tiga momen yakni,"masyarakat merupakan produk manusia, masyarakat merupakan realitas objektif, manusia produk masyarakat". Bahwa makna-makna umum dimiliki bersama dan diterima dilihat sebagai dasar dari organisasi social. Konstruksi social berusaha menyeimbangkan struktur masyarakat dengan individu. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Aliran konstruktivis merupakan respon terhadap positivistic dan memiliki sifat yang sama dengan positivistic, sedangkan yang membedakan objek kajiannya sebagai star awal dalam memandang realitas social. Positivistic berangkan dari system dan struktur social sedangakan konstruktivis berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas sosial. Jika mau diturunkan dalam metodologi penelitian menjadi tujuan ilmu social ini memahami realitas social, ilmu bersifat neutral dan bebas nilai. Asumsi dasar yang digunakan bahwa manusia sebagai mahluk yang berkesadaran. Penelitian yang dipakai merupakan penelitian kualitatif dengan metode pencarian data dengan wawancara dan observasi. Dalam memandang masyarakat merupakan realitas yang beragam dan memiliki keunikatan tersendiri, sehingga dari hasil penelitian yang didapatkan tidak boleh untuk menggeneralkan pada objek yang lain.
ILMU SOSIAL KRITIS
Ilmu social kritis tidak dapat dilepaskan dari pemikiran filosof kontemporer di Jerman yang mencoba mengembangkan teori Marxian guna memecahkan persolan yang dihadapi sekarang. Teori social ini merupakan upaya pengkrtisan terhadap the father dari filsafat Jerman dan mengkritisi pemikiran Marx yang telah menjadi ideology bukannya ilmu. Marx yang telah menjadi ideology dapat dilihat pada Negara komunis sehingga ajaran Marx membatu dan tidak besifat transformative. Secara garis besar Mazhab Frankfurt dalam kelahirannya upaya mengkritisi pemikiran ilmu social yang selama ini dan realitas sekarang. Ritzer mencoba memetakan tentang sasaran kritik para pemikir dari mazhab Frankfurt yakni ada lima macam, pertama kritik terhadap dominasi ekonomi, kritik terhadap sosiologi pada intinya mengatakan bahwa sosiologi bukanlah sekedar ilmu atau metode sendiri tetapi harus dapat mentransformasikan struktur social dan membantu manusia keluar dari tekanan struktur, kritik filsafat positivistic yang memandang manusia sebagai objek (alam) dan tidak tanggap terhadap perubahan, kritik terhadap masyarakat modern yang telah dikuasai oleh revolusi budaya, kritik budaya (birokrasi) yang menyebabkan masyarakat dibatasi oleh mekanisme adminitrasi, dan melahirkan budaya semu yang melahirkan represifitas struktur yang melumpuhkan manusia.
Munculnya pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan melwan krisis pada waktu saat itu, ia kecewa terhadap pengaruh filsafat positivistic yang melahirkan perfektif objektivistik dan pengaruhnya masuk kedalam seluru disiplin ilmu pengetahuan. Bagi mereka, dengan pemikiran yang telah diiajukan oleh positivistic telah melahirkan wawasan dan cara pemikiran jangka pendek. Kenyakinan positivisme telah menimbulkan krisis, oleh karena itu ia menawarkan pemikiran alternative "teri kritis". Akar pemikiran Mazhab ini dapat ditelusuri dari Marx, Hegel yang telah membrikan banyak ilustrasi dan memberikan pencerahan. Analisis yang digunakan frankfutr menggunakan dua proporsi yang utama. Pertama pemikirn seseorang merupakan produks masyarakat dimana ia hidup. Pemikiran manusia terbentuk secara social, maka tidak mungkin orang mencapai pengetahuan dan kesimpulan objektif, bebas dari pengaruh perkembangan zaman dan pola-pola konseptual yang ada dimana manusia hidup. Kedua, ilmuan dan intelektual tidak dapat objektif, mencoba bersikap bebas nilai dalam membangaun perfektif pemikirannya. Seorang intelektual harus kritis memahami prilaku masyarakat dan menjadi orientasi menjadikan orang menyadari apa yang harus mereka kerjakan sesuai yang mereka inginkan dalam perubahan. Pemikiran kritis menyadari bahwa pemikiran buklanlah sesuatu yang memiliki keunikan objektif, mereka percaya bahwa di dunia pengetahuan terdapat kebenaran dan engetahuan yang riil. Pendekatan ini yang mencoba membedakan mainstream pengetahuan positivis yang memisahkan peran dan nilai dalam analisisnya. Positivisme yang mereka pakai lebih mengacu pada kajian empiric terhadap hipotesis dan pengetahuan objektif. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Kata kunci kritik merupakan upaya untuk memahami dalam teori kritis, kritik dalam teori ini merupakan mengupayakan suapaya teori bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diupayakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, politik dan kebudayaan yang telah diselubungi oleh ideology yang telah menguntungkan pihak-pihak tertentu dan sekaligus mengasingkan manusia dalam kehidupan masyarakat. Kata kritik berakar dalam tradisi filsafat itu sendiri dan kata tersebut sudah dipakai sejak zaman pencerahan. Kritik merupakan refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri rasio dalam sejarah. Kritik juga merupakan refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi tentang asal-usul tentang kesadaran. Pada generasi pertama mereka melontarkan kritik terhadap saistisme atau positivisme yang telah menghasilkan masyarakat yang irasional dan ideologis. Teori kritis mengupayakan mengkaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praksis. Teori kritis menurut Horkheimer memiliki emapat karakter, pertama teori ini bersifat histories dengan artian diperkembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konreat dan berpijak diatasnya. Teori ini merupakan kritik immanen terdapat yang nyata dan tidak manusiawi. Kedua, teori kritis disusun berdasarkan dalam kesedaran keterlibatan histories para pemikirnya, dengan maksud mereka menyadari bahwa teori ini dapat terjatuh pada dataran ideology. Misalkan dalam teori tradisional menggatungkan keshahihannya dengan verifikasi empiris. Sedangkan untuk teori ini menggantungkan pada evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri. Ketiga teori ini memiliki kecurugaan terhadap masyarakat, dikarenkan dalam teori ini mengupayakan untuk mengurai kedok ideology yang dipakai untuk menutupi ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat. Keempat, teori ini menguapakan teori dengan praksis, dengan maksud teori ini mengupayakan untuk melakukan transformasi social dan dilakukan lewat praksis.
Teori kritis dalam mengkritik masyarakat modern dilakukan dengan dua cara; pertama, menelusi akar-akar berfikir positivistic masyarkat modern dengan melakukan proses rasionalisasi dalam masyrakat barat. Kedua, menunjukan cara berfikir positivistic yang telah mewujudkn dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlaku sebagai ideology yang diterima sukarela oleh masyarakat modern. Mereka ingin mengkritik masyarakat modern sebagai struktur yang telah menindas, melainkan terlebih cara berfikir positivistiklah yang menjadi ideology dan mitos. Rasionalitas pada zaman ini berfungsi sebagai ideology dan dominasi, dan menjadikan cara berfikir saitis telah membeku menjadi ideology atau mitos. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan mengamdi kepada manusia melainkan manusia yang mengabdi kepada ilmu pengetuan dan teknologi. Menurut mazab ini manusia sekarang tidak ditindas oleh manusia yang lain tetapi ditindas oleh system teknologi mencengkram segenap alamiah dan social manusia. Apa yang meeka sebut iu merupakan rasional teknologis, merupakan karakter dari zaman rasional sekarang ini. Pada genrasi pertama mereka mengalami jalan buntu dikarenakn mereka tidak dapat menemukan jalan keluar dari masyarakat yang mereka kritik. Pada teori kritis pertama konsep praksis merupakan kerja dalam pandangan Marxian. Praksis emansipatoris yang mereka lakukan dapat menimbulkan perbudakan baru karena emansipasi penguasaan baru. Oleh karena itu Habermas sebgai generasi kedua menawarkan praksis kdisamaping praksis kerja. Hal tersebut dikarenakan komunikasi msih ada kebebasan sehingga masih ada tempat bagi rasio kritis. Degan ide komuikasi Habermas mengtasi positivisme dengan menunjukan kjeterkaitan antara teori dan praktik. Praksis kerja dan komunikasi merupakan dua tindakan dasar manusia yang menentukan manusia sebgai spesies bergerak dan hidup di dalam duania.
Pengetahuan dan prakis manusia dapat mengarahkan pengetahuan, pertama sebagai spesies manusia memiliki kepentingan untuk mengontrol lingkungan eksternalnya melalui pranata-pranata kerja dan kepentinganingin mewujudkan dirinya dalam pengetahuan informative yang secara metodis disistematikan dalam ilmu empiris analitis. Kedua, manusia memiliki kepentingan praksis untuk menjalin pemahaman timbale balik melalui perantaraan bahasa dan kepentingan ini, mewujudkan dirinya dalam pengetahuan interpretative dan sistematiskan metodis dalam ilmu social histories-hermeneutis. Manusia memiki kepnetingan partisipatoris untuk membebskan diri dari hambatan ideologis melalui perantaraan kekuasaan dan kepentingan ini mewujudkan dirinya dalam pengetahuan analitis yang disistematiskan ilmu social kritis. (Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi).
Ilmu social kritis jika mau diderivasikan dalam metodologi penelitian, merupakan suatu ilmu yang emansipatoris dan untuk melakukan transformasi social. Ilmu ini tidak bebas nilai, berfihak kepada kemanusiaan dan melakukan pemberdayaan sehingga tercipta masyarakat yang berkeadilan. Metode penelitain yang digunakan dengan penelitian kualitatif atapun kuantitatif yang penting bukan memaparkan tentang realitas social yang terjadi tetapi melakukan perubahan guna tercipta masyarakat yang berkeadilan. Data diperoleh dengan wawancara, observasi atapun dengan angket, serta kuesioner guna melakukan pembacaan awal. Peneliti bersikap partisipatif dengan yang ditelitii dan tidak ada jarak dan langsung memberikan penyadaran dan melakukan refleksi diri sesuai apa yang telah dicita-citakannya.
ILMU SOSIAL PROFETIK
Ilmu Social Profetik (ISP) merupakan tugas yang berat yang harus diemban agar dapat menjadikan nilai-nilai Islam dapat diterima sehingga Islam sebagai rahmat. Secara kelahirannya ISP merupakan suatu hasil dari pemikiran tokoh yang prihatin melihat realitas sekarang dan mencoba untuk melakukan transformasi guna menciptakan yang lebih baik. ISP sebagai produks dari pemikiran perlu mendapatkan pengkritisan sebagai sarana pembenahan baik segi teori ataupun metodologinya sehingga ISP dapat sejajar dalam paradigma ilmu social yang lain. ISP selama ini, merupakan suatu gerilya intelektual dan masih dimiliki oleh kalangan akdemisi tetapi hanya sekedar wacana dan discausce. Pemahaman kalangan akademisi tentang ISP belum dapat disejajarkan paradigma ilmu social yang lain. Pemahaman tersebut menjadikan akademisi kurang begitu serius, menjadikan ilmu ini setara dan sejajar dengan paradigma ilmu social yang lain bercorak liberal ataupun yang perfeksionis. Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang lebih dalam tentang ISP guna dapat merekonstruksinya, agar ISP dapat digunakan untuk melihat dan menyelesaikan problem social yang selama ini terjadi. Untuk lebih jauh dapat dilihat pemikiran tokoh yang mencoba melontarkan ISP sebagai alternative dalam teori social kontemporer.
Sebagaimana dalam sosiologi pengetahuan ISP sebagai produks dari pemikiran agar tidak membeku, menjadi ideology dan menjadi mitos baru, maka perlu melakukan refleksi diri dan evaluatif. ISP yang telah dilontarkan oleh Kuntowijoyo dalam kelahirannya tidak dapat dilepaskan dari realitas yang terjadi pada saat itu. Secara sederhana kelahirannya ISP yang digagas oleh Kunto dapat dipetakan menjadi dua macam; pertama interaksi Kunto dengan berbagai macam ilmu social sehingga memunculkan respon atau terhadap ilmu social yang ada, dan tokoh yang memiliki karakter transformative. Kedua, respon terhadap kondisi realitas (kerangka berfikir atau arus besar pemikiran yang berkembang) sekarang dimana ISP dilontarkan.
Pertama, interaksi Kunto dengan berbagai macam ilmu social. Kunto merupakan sosok intelekual yang senang membaca, hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang berkaitan dengan teori perubahan social ia sempat juga menggunakan teori social dari tokoh Marx, Weber, dan Durkheim. Selanjutnya dalam melihat periodesasi perkembangan umat Islam Kunto menggunakan analisis dari Comte. Setelah melalukan kajian terhadap ilmu social, ia mencoba memberikan respon ataupun tanggapan terhadap yang ia kaji. ISP merupakan ilmu social alternative terhadap ilmu social yang selama ini berkembang cenderung bercorak liberal dan logika positivistic. Sebagaimana dalam era post modernis ilmu social saling berevolusi dalam dataran paradigmatic. Begitupula, dengan ISP merupakan kritisi terhadap tiga ilmu social yang selama ini berkembang seperti ilmu social yang bercorak posiivistik, konstruksionisme yang bercorak liberal dan ilmu social yang bercorak kritis memiliki sifat perfeksionis.
Ilmu social positivistic, dimana dalam memandang masyarakat bagaikan sebuah system atau struktur. Letak pengkritisian terhadap ilmu ini dalam emandang manusia tidak memiliki kebebasan, individu bersifat deterministic, ilmu ini tidak megupayakan untuk melaklukan transformasi social, tetapi ilmu ini lebih cenderung mempertahankan status quo. Ilmu social positivistic dipelopori oleh Comte dan di kembangkan oleh Durkheim. Sedangkan untuk ilmu social konstruktivis dipelopori oleh Weber, ilmu social konstruktivis sama dengan ilmu social positivistic ia bersifat liberal. Sedangkan yang membedakan dari ilmu ini, menjelaskan dan memaparkan relaitas social itu beragam dan memiliki keunikan tertentu sehingga tidak dapat digenaralkan. Dalam ilmu social konstruktivis memandang manusia sebagai subjek yang bebas dan memiliki kesadaran dan membentuk system. Sedangkan pengkritisian terhadap ilmu kritis yang bersifat perfeksionis, Kunto memaparkan dengan meminjam analisisnya Micheal Root. Bahwa ilmu social yang bersifat perfeksinis seperti aliran Marxian, Freudian, dan Feminisme jatuh dalam dataran ilmu yang deterministic. Ilmu tersebut jatuh dalam dataran determinstik dikarenakan seperti Marxian mengandung determinisme ekonomi, Freudian dalam determinisme biologis sedangkan feminisme mengalami determinisme seksual. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid). Melihat ilmu social yang berkembang di era sekarang maka ia menawarkan ISP sebagai ilmu yang serat nilai, berfihak dan mengupayakan transformasi social, seperti ilmu social kritis yang telah digagas oleh Mazhab Frankfurt yang telah dikembangkan oleh Jurgen Habermas.
Interakasi Kunto dengan tokoh-tokoh yang mempengaruhinya seperti Moeslim Abdurrahman, Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Moeslim Abdurrahman dengan pemikiran teologi trasformatif, dalam hal ini Kunto lebih memilih ilmu social dari pada teologi. Hal tersebut dikarenakan akan membingungkan dan kurang cocok diterjemahakan, bila menggunakan teologi maka dapat memunculka teologi yang lain seperti teologi pembebasan, teologi lingkungan dan yang lain. Sedangkan pemahan umat tentang permasalah teologi merupakan yang tetap tidak berubah, oleh karena itu ia lebih memakai ilmu social. Lagian pula, teologi transformative yang digagas oleh Moeslim Abdurrahman lebih tetapi diterjemahkan dalam ilmu social transformative. Pergatian dari teologi dalam ilmu social, hal ini dikerenakan jika gagasan pembaharuan teologi agar agama diberi tafsiran baru dalam rangka memahami realitas social, metode yang efektif yang dimaksud dalam rangka mengelaborasi ajaran agama kedalam suatu teori social. Lingkup dari sasaran ilmu social tersebut lebih dari rekayasa untuk transformasi social. Lingkup bukan dalam dataran permanent seperti teologi, tetapi aspek yang temporal, empiris dan histories. Maka kunto lebih cenderung menggunakan ilmu social ketimbang teologi. Kebutuhan yang dilakukan dalam trasformasi social bukan saja perangkat yang bersifat objektif, tetapi melalui teori social dapat melakukan transformasi bersifat objektif dan juga merupakan lahan garap yang bersifat empiris.
Interaksi Kunto dengan Muhammad Iqbal. Kunto mengambil kata profetik ia mendapatkan gambaran tetang konsep kesadaran profetis yang dilontarkan oleh Iqbal dalam bukunya Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam. Muhammad Iqbal menggambarkan tentang mi'rajnya Nabi Saw, yang bertemu dengan Tuhan, seandainya nabi seorang mistikus atau sufi, ia pasti tidak akan kembali karena sudah tentram dan tetang bersama-Nya. Tetapi ini lain, Nabi kembali ke bumi untuk melakukan perubahan dalam rangka merubah sejarah melakukan transformasi profetik. Selanjutnya kata profetik juga terinspirasi dari seorang Filosof Prancis Roger Garaudy dalam bukunya Janji-Janji Islam, disana dipaparkan bahwa peradaban Barat tidak memuaskan dikarenakan terombang-ambing dalam kedua kutub besar yakni idealisme dan materialisme. Filasafat barat (kritis) lahir yang mempertanyakan bagaimana pengetahuan intu dimungkinkan , lalu ia mengusulkan agar membalik pertanyaan agar bagaimana wahyu dimungkinkan. Dalam rngka untuk menghindari kehancuran peradaban maka pilihan satu-satunya agar menggunakan kembali warisan Islam (filsafat kenabian). Filasfat barat telah "membunuh" Tuhan dan manusia, maka ia menganjurkan untuk menggunakan filsafat kenabian dan mengakui wahyu sebagai salah satu dari sumber kebenaran.
Kedua, kondisi realitas sekarang. Realitas sekarang merupakan zaman post modernism. Sebagaimana dalam tradisi modernism yang muncul dari abad pertengahan pada masa pencerahan yang ditandai dengan lontaran dari seorang filosof Prancis Rene Descartes dengan semboyannya catigo ego sum. Menurut Kunto dalam zaman pencerahan yang berkembang menjadi modernisme terdapat dua ciri yang penting dan yang membedakan dengan era post modernism. Pada zaman modern merupakan kerangka berfikir sekuleristik, memandang dengan differentiation (pemisahan) dan terjadinya humanisme antroposentris. Kerangka pikir sekuleristik mencoba memisahkan dengan tegas antara agama dengan ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan Negara. Modernisme yang dikumandangkan humanisme antroposentris berkembang bukannya telah memberikan kemerdekaan terhadap manusia tetapi sebaliknya, yang terjadi sampai sekarang adalah dehumanisasi. Dehumanisasi dikarenakan manusia dengan menciptakan ilmu pengethuan dan teknologi yang memiliki tujuan utama untuk mempermudah manusia, tetapi sekarang manusia terjebak oleh system yang telah dibuat menjadikan manusia telah diperbudak oleh system dan teknologi itu. Sebagaimana yang telah dikemukaka oleh Mazhab Frankfurt kerangka pikir modernisme menjadi rasional teknokratis atau dalam bahasa Herbert Marcus menjadi manusia satu dimensi.
Realitas sekarang merupakan era post modernisme dimana dalam zaman ini merupakan kritik terhadap modernism dan patologi yang dihadapinya. Post modernisme memiliki cirri yang penting adalah de-differentiation. Post-modernism merupakan penyapaan kembali antara agama dan ilmu pengethuan dan tidak berdiri sendiri atau terpisah. Agama sebagai ispirasi dan sumber nilai/etik dari ilmu pengetahuan. Penyapaan terhadap agama dari ilmu pengetahuan ini yang mencoba melakukan integrasi antara ilmu dengan agama guna menjawab problem modernitas dimana terjadinya dehumanisasi dan kerusakan ekologi. Melihat era sekarang maka ISP memiliki peluang agar dapat diterima sebagai salah satu disiplin ilmu dikarenakan ISP mencoba melakukan integrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama. Agama menjadikan nilai untuk melakukan transformasi social dan pengintegrasian nilai-nilai agama dalam masyarakat sehingga betuk transformasinya pun ada arahan kemana transformasi itu akan dibawa. Dengan ISP sebagai alat transformasi sedangkan bentuk transformasinya merupakan transfomasi profetik guna mewujudkan Khoirul Umat.
Cita-cita dalam ISP merupakan jawaban dari ilmu social transformative dikarenakan dalam ISP bukan saja menjelaskan bagaimana transformasinya tetapi untuk apa, oleh siapa dan diarahkan kemana dalam transformasinya, sedangkan dalam ilmu social transformative memiliki jawaban yang kurang jelas. ISP bukan hanya alat untuk melakukan transformasi tetapi diarahkan sesuai dengan cita-cita dan etis profetis. Cita-cita profetis dalam ISP mrupakan apa yang telah diidamkan oleh masyarakatnya. Cita-cita profetis diderivasi dari surat al Imran 110.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Artinya: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah Swt" (QS. al Imran; 110).
Menurut Kunto ada empat hal yang tersirat dalam ayat tersebut; pertama merupakan konsep umat yang terbaik, kedua aktivisme sejarah, ketiga pentingnya kesadaran, dan keempat etika profetik. Pertama خَيْرَ أُمَّة)ٍ ) konsep umat yang terbaik bagi Islam merupakan mengerjakan ketiga hal tersebut dalam ayat bukanlah sekedar hadiah dari Tuhan. Tetapi konsep umat yang terbaik ini merupakan tantangan agar aktif dan bekerja keras dalam sejarah. Kedua أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ)) aktivisme sejarah merupakan bentuk kerja keras ditengah umat manusia dan keterlibatan umat Islam dalam menentukan sejarah. Sebagaimana dalam ajaran Islam yang menekankan bahwa Islam merupakan agama amal, jadi pengetahuan yang didapatkan harus ditransformasikan bukan hanya untuk diri tetapi untuk orang lain. Ketiga pentingnya kesadaran. Kesadaran dalam Islam merupakan bentuk kesadaran yang berbeda dengan Marxisme. Bentuk kesadaran dalam Islam nilai-nilai Ilahiah menjadi tumpuan dalam melakukan aktivisme sejarah. Kesadaran tersebut bersifat idependensi yang bertumpu pada Tuhan bukan kepada struktur atapun kepada manusia. Kesadaran yang ditekankan pada struktur atau individu menjadikan bentuk kesadaran dalam Marxisme maka yang terjadi merupakan dalam bentuk individualisme, eksistensialisme, kapitalisme, dan liberalisme. Keempat tetang etika profetik yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Etika profetik merupakan pelaksanaan secara integral dari (تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِالله)ِ yang oleh Kunto diterjemahkan menjadi; humanisasi, liberasi dan trasendensi.
PILAR ISP
ISP dalam pembacaan dan pengalisaan terhadap realitas social memiliki tiga ranah alat pandang, dimana alat pandang tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Pilar ISP merupakan bagaimana ISP dihadapkan pada realitas empiris, sehingga pendekatan yang digunakan oleh ISP pun bersifat empiris analitis dengan menghadapkan al Qur'an dengan realitas social seperti industrialisasi, kelas social dan permasalahan yang lain. Penelitian yang dilakukan bersifat partisipatoris, grounded research. ISP memiliki iga pilar yag diderivasi dari surat al Imron 110 yakni tafsirn kreatif dari Kunto (1) تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ menjadi humanisasi, (2) َتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ menjadi liberasi, dan (3) َتُؤْمِنُونَ بِاللهِ menjadi trasendensi.
Humanisasi.merupakan semangat dari peradaban Barat yang percaya pada the idea of progress, demokrasi, HAM, Liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme dan selfshnees. Humanisasi merupakan proses pemanusiaan manusia dalam bahasa agamanya mengembalikan posisi manusia pada fitrahnya. Proses humanisasi merupakan jawaban dari patologi masyarakat modern yang mengalami dehumanisasi yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan informasi. Manusia terjerat dengan teknologi sehingga manusia mengabdi untuk teknologi, bukannya teknologi yang mengabdi kepada manusia. Manusia pada masyarakat modern dengan kerangka pikir rasional teknokratis sehingga menjadi manusia satu dimensi, jatuh dalam dataran kehinaan dan menghilangnya sisi atau dimensi manusia yang lain. Oleh karena, itu Kunto mencoba melakukan humanisasi yang berdasar kepada agama, dimana merujuk iman dan amal soleh. Hal ini seperti diungkapkan dalam surat at Tin ayat 5-6 bahwa manusia jatuh kedalam tempat keterhinaan, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Pengembalian kemualiaan manusia yang terjatuh pada kehinaan dengan mengembalikan manusia pada fitrahnya, sehingga dapat memenuhi semua dimensi yang dimiliki oleh manusia. Pemenuhan semua dimensi yang ada pada manusia ini, menjadikan posisi manusia tidak seperti masyarakat modern yang menafikan salah satu dimensi yang ada pada manusia. Humanisme yang dilontarkan oleh ISP merupakan pengkritisian humanisme barat (humanisme antroposentris), yang menyebabkan majuanya peradaban barat tetapi sekarang mereka mengalami dehumanisasi. Humanisme yang ditwarkan oleh ISP humanisme yang didasarkan pada agama jadi humanisme teo-antroposentris. Gagasan humanisasi tersebut diterjemahkan dalam teori social menjadi ilmu social yang menggunakan pendekatan structural fungsional. Gagasan structural fungsional ini yang telah dilontarkan oleh Kunto mencoba menggabungkan teori fungsional dengan menggunakan pendekatan grounded research dalam penelitiannya. Analisis yang digunakan oleh Kunto dalam karyanya memandang persolan masyarakat menggunakan pendekatan makro atau struktur dan dalam humanisasi lebih cenderung menggunakan teori social fungsional dan menggunakan pendekatan interpretative dalam memandang manusia.
Liberasi. Liberasi dalam ISP selaras dengan berbagai teori social yang bercorak partisipatif dan membawa etik tertentu, seperti prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan dan teologi pembebasan) yakni semua membawa pada liberation. Mereka mempercayai bahwa perkembangan dapat dicapai dengan kebebasan. Libersi yang ditawarkan oleh ISP dalam dataran ilmu buka dalam dataran ideologis. Liberasi yang ditawarkan oleh Kunto dalam ISP paling tidak empat ranah seperti bidang ekonomi, social, budaya, dan politik dalam ranah system ilmu pengetahuan. Liberasi system ilmu pengetahuan dapat membebaskan manusia dari system pengahuan materialis, dominasi struktur misalkan kelas dan seks. Hal ini, Islam memandang kesetaraan antara lak-laki dan perempuan. Libeasi dari system social budaya merupakan transformasi social umat Islam yang berkembang dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Oleh karena itu, dalam transfomeasi tersebut diperlukan ilmu social yang bersifat communitarian. Liberasi dalam ekonmi bagaimana menciptakan suatu system ekonomi yang bercorak keadilan, hal ini dikarenakan adanya kesenjangan ekonomi. Penggagasan tentang keadilan ekonomi merupakan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Hal ini sebagaiman telah diungkapka dalam al Qur'an dalam surat al Hasyr; 7 "supaya harta tidak hanya beredar diantara orang-orng yang kaya diantara kamu", selanjutnya dalam surat al Zukhruf; 32 "apakah mereka yang berhak membagi-bagi rahmat Tuhanmu?". Liberalisme dalam politik membebaskan dari system perpolitikan yang tidak adil dan terjadinya penindasan seperti system otoriterianisme, dictator dan neofeodalisme. Liberasi dalam ISP ini dapat diterjemahka dalam ilmu social selaras dengan pendekatan Marxisme. Hal ini dapat dilihat dari analisis yang telah digunakan oleh Kunto dalam memandang tertentu seperti persolan kemiskinan ia lebih cenderung memakai Marxian, tetapi bukan dalam dataran penghapusan kelas tetapi agar bagaimana tercita struktur yang berkeadilan.
Transendensi. Trasendensi dalam ISP merupakan menjiwai dari kedua unsure. Ia menjadi prinsip dalam semua agama dan filsafat perennial. Trsendensi merupakan kunci beriman kepada Allah, yang menjadi ruh alam humanisasi dan liberasi dalam melihat dan pengaplikasian dari ISP. Menurut Erich Fromm jika tidak menerima otoritas Tuhan secara otomatis akan berdampak pada; (1) relativisme penuh, dimana nilai dan norma sepenuhnya merupakan urusan pribadi. (2) nilai tergantung pada masyarakat sehingga yang dominant akan menguasai. (3) nilai tergantung pada kondisi biologis. Oleh karena itu, menurut Kunto agar umat Islam meletakan Allah sebagai pemengang otoritas, Tuhan yang maha objektif. Trasendensi yang dimaksudkan oleh Kunto dalam ISP merupakan penggunaan wahyu sebagai salah satu unsure dalam ilmu social. Pradigma wahyu digunakan dalam ilmu social yang dilakukan oleh Kuno dengan melalui objektifikasi terhadap ayat-ayat al Qur'an agar kebenaran yang didalamnya dapat diterima oleh seluruh manusia. Objektifikasi merupakan upya rasionalitas nilai yang diwujudkan dalam perbuatan rasional, sehingga orng laur dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai asalnya. Melalui objektifikasi menjadikan Islam yang bekerja secara aktif, sehingga menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dalam artian Islam diturunkan sebagai rahmat kepada siapa pun tanpa memperhatikan warna kulit budaya dan sebagainya. Objektifisikasi merupakan konkritisasi dalam kenyakinan internal, perbuatan ini dapat objektif jika dapat dirasakan oleh non muslim sebagai suatu a natural atau wajar, tidak sebagai perbuatan keagamaan. Kunto mencontohkan tentang objektifisakasi ayat al Qur'an agar nilai-nilai Islam dapat diterima oleh semua umat manusia. Misalkan ancaman Tuhan kepada orang Islam sebagai orang yang mendustkan agama bila tidak memperhatikan kehidupan orang-orang miskin dapat diobjektifkan dengan program IDT. Kesetiakawanan nasional adalah objektifikasi dari ajaran tentang ukuwah. (Kutowjoyo, Identitas Politik Umat Islam).
ISP yang dilontarkan oleh Kunto diterjemahkan dari sifat ilmunya maka ISP bersifat partisipatoris untuk melakukan perubahan dan sekaligus arah dari perubahan itu sendiri. Ilmu ini serat dengan nilai-nilai, tidak status quo, dan berfihak kepada kemunisaan guna menciptakan khoirul ummat. ISP ilmu dalam aliran yang perfeksionis dan bersifat communitarian. Dalam metodologi penelitian ISP yang diharapkan penelitian lapangan dan langsung melakukan emansipasi guna menciptakan keadilan. Cara pencarian data yang dilakukan IS dengan metode wawancara dan observasi partisipatoris. ISP merupakan turunuan dari surat al Imran 110 menghasilkan tiga paradigama guna mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Tetapi masing-masing paradigama dalam ISP yang dalam memandang masyarakat bersifat integral dan menyeluruh, jika diturunkan dalam metodologi penelitian maka dapat berdiri sendiri tanpa adanya saling sapa. Kunto hanya mencoba dalam analisis dengan menggunakan ketiga paradigama tersebut, tetapi ia terkadang dalam melihat fenomena social cenderung dengan pendekatn Marxian kadang juga fungsional. Selanjutnya dalam ilmu social yang bersifat partisipatoris ada rangkaian dalam menjalankan keseimbangan antara teori dan praktek seperti dalam ilmu social kritis, dalam konsep praksisnya kerja dan komunikasi. Jika mau ditarik kedalam ISP Kunto belujm sempat merumuskannya. Tetapi jika ditelusuri dari berbagai karyanya ia mencoba mengintergrasikan ilmu social yag dari barat dengan nilai-nilai Islam. Hal ini seperti urainnya Heru Nugroho dalam menanggapi ISP yang dilontarkan oleh Kunto, ia mengatagorikan Hegelisme Religius. Serta yang membedakan konsep ISP dengan ilmu social Kritis adalah trasendensi. Kunto juga dalam melihat slam merupakan agama amal, bukannya teori saja tetapi harus diterapkan dalam masyarakat. Dari tujuan serta yang berada dalam konsep ISP dapat dilihat konsep praksis dari ISP ada merupakan praksis kerja, komuniksi dan praksis manusia sebagai mahluk Tuhan.
Praksis ISP dengan mendiologkan agama ini, dengan realiatas menjadikan agama berperan dan mengupayakan untuk melakukan transformasi dengan didasari oleh nilai-nilai agama. Transfomasi yang didasarkan oleh nilai-nilai agama menjadikan bentuk tranformasi serta arahannya jelas. Hal ini dapat dilihat bentuk transfoemasi yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan nabi Musa dalam menghilangkan penindasan umatnya dari Fir'an. Bentuk transformasi yang dilakukan menciptakan masyarakat yang berkeadilan dan didasarkan dengan nilai-nilai Ilahiah sebagai sarana dan jalan dalam rangka beribadah kepada Tuhan.
PILAR ISP
ISP dalam pembacaan dan pengalisaan terhadap realitas social memiliki tiga ranah alat pandang, dimana alat pandang tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Pilar ISP merupakan bagaimana ISP dihadapkan pada realitas empiris, sehingga pendekatan yang digunakan oleh ISP pun bersifat empiris analitis dengan menghadapkan al Qur'an dengan realitas social seperti industrialisasi, kelas social dan permasalahan yang lain. Penelitian yang dilakukan bersifat partisipatoris, grounded research. ISP memiliki iga pilar yag diderivasi dari surat al Imron 110 yakni tafsirn kreatif dari Kunto (1) تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ menjadi humanisasi, (2) َتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ menjadi liberasi, dan (3) َتُؤْمِنُونَ بِاللهِ menjadi trasendensi.
Humanisasi.merupakan semangat dari peradaban Barat yang percaya pada the idea of progress, demokrasi, HAM, Liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme dan selfshnees. Humanisasi merupakan proses pemanusiaan manusia dalam bahasa agamanya mengembalikan posisi manusia pada fitrahnya. Proses humanisasi merupakan jawaban dari patologi masyarakat modern yang mengalami dehumanisasi yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan informasi. Manusia terjerat dengan teknologi sehingga manusia mengabdi untuk teknologi, bukannya teknologi yang mengabdi kepada manusia. Manusia pada masyarakat modern dengan kerangka pikir rasional teknokratis sehingga menjadi manusia satu dimensi, jatuh dalam dataran kehinaan dan menghilangnya sisi atau dimensi manusia yang lain. Oleh karena, itu Kunto mencoba melakukan humanisasi yang berdasar kepada agama, dimana merujuk iman dan amal soleh. Hal ini seperti diungkapkan dalam surat at Tin ayat 5-6 bahwa manusia jatuh kedalam tempat keterhinaan, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Pengembalian kemualiaan manusia yang terjatuh pada kehinaan dengan mengembalikan manusia pada fitrahnya, sehingga dapat memenuhi semua dimensi yang dimiliki oleh manusia. Pemenuhan semua dimensi yang ada pada manusia ini, menjadikan posisi manusia tidak seperti masyarakat modern yang menafikan salah satu dimensi yang ada pada manusia. Humanisme yang dilontarkan oleh ISP merupakan pengkritisian humanisme barat (humanisme antroposentris), yang menyebabkan majuanya peradaban barat tetapi sekarang mereka mengalami dehumanisasi. Humanisme yang ditwarkan oleh ISP humanisme yang didasarkan pada agama jadi humanisme teo-antroposentris. Gagasan humanisasi tersebut diterjemahkan dalam teori social menjadi ilmu social yang menggunakan pendekatan structural fungsional. Gagasan structural fungsional ini yang telah dilontarkan oleh Kunto mencoba menggabungkan teori fungsional dengan menggunakan pendekatan grounded research dalam penelitiannya. Analisis yang digunakan oleh Kunto dalam karyanya memandang persolan masyarakat menggunakan pendekatan makro atau struktur dan dalam humanisasi lebih cenderung menggunakan teori social fungsional dan menggunakan pendekatan interpretative dalam memandang manusia.
Liberasi. Liberasi dalam ISP selaras dengan berbagai teori social yang bercorak partisipatif dan membawa etik tertentu, seperti prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan dan teologi pembebasan) yakni semua membawa pada liberation. Mereka mempercayai bahwa perkembangan dapat dicapai dengan kebebasan. Libersi yang ditawarkan oleh ISP dalam dataran ilmu buka dalam dataran ideologis. Liberasi yang ditawarkan oleh Kunto dalam ISP paling tidak empat ranah seperti bidang ekonomi, social, budaya, dan politik dalam ranah system ilmu pengetahuan. Liberasi system ilmu pengetahuan dapat membebaskan manusia dari system pengahuan materialis, dominasi struktur misalkan kelas dan seks. Hal ini, Islam memandang kesetaraan antara lak-laki dan perempuan. Libeasi dari system social budaya merupakan transformasi social umat Islam yang berkembang dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Oleh karena itu, dalam transfomeasi tersebut diperlukan ilmu social yang bersifat communitarian. Liberasi dalam ekonmi bagaimana menciptakan suatu system ekonomi yang bercorak keadilan, hal ini dikarenakan adanya kesenjangan ekonomi. Penggagasan tentang keadilan ekonomi merupakan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Hal ini sebagaiman telah diungkapka dalam al Qur'an dalam surat al Hasyr; 7 "supaya harta tidak hanya beredar diantara orang-orng yang kaya diantara kamu", selanjutnya dalam surat al Zukhruf; 32 "apakah mereka yang berhak membagi-bagi rahmat Tuhanmu?". Liberalisme dalam politik membebaskan dari system perpolitikan yang tidak adil dan terjadinya penindasan seperti system otoriterianisme, dictator dan neofeodalisme. Liberasi dalam ISP ini dapat diterjemahka dalam ilmu social selaras dengan pendekatan Marxisme. Hal ini dapat dilihat dari analisis yang telah digunakan oleh Kunto dalam memandang tertentu seperti persolan kemiskinan ia lebih cenderung memakai Marxian, tetapi bukan dalam dataran penghapusan kelas tetapi agar bagaimana tercita struktur yang berkeadilan.
Transendensi. Trasendensi dalam ISP merupakan menjiwai dari kedua unsure. Ia menjadi prinsip dalam semua agama dan filsafat perennial. Trsendensi merupakan kunci beriman kepada Allah, yang menjadi ruh alam humanisasi dan liberasi dalam melihat dan pengaplikasian dari ISP. Menurut Erich Fromm jika tidak menerima otoritas Tuhan secara otomatis akan berdampak pada; (1) relativisme penuh, dimana nilai dan norma sepenuhnya merupakan urusan pribadi. (2) nilai tergantung pada masyarakat sehingga yang dominant akan menguasai. (3) nilai tergantung pada kondisi biologis. Oleh karena itu, menurut Kunto agar umat Islam meletakan Allah sebagai pemengang otoritas, Tuhan yang maha objektif. Trasendensi yang dimaksudkan oleh Kunto dalam ISP merupakan penggunaan wahyu sebagai salah satu unsure dalam ilmu social. Pradigma wahyu digunakan dalam ilmu social yang dilakukan oleh Kuno dengan melalui objektifikasi terhadap ayat-ayat al Qur'an agar kebenaran yang didalamnya dapat diterima oleh seluruh manusia. Objektifikasi merupakan upya rasionalitas nilai yang diwujudkan dalam perbuatan rasional, sehingga orng laur dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai asalnya. Melalui objektifikasi menjadikan Islam yang bekerja secara aktif, sehingga menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dalam artian Islam diturunkan sebagai rahmat kepada siapa pun tanpa memperhatikan warna kulit budaya dan sebagainya. Objektifisikasi merupakan konkritisasi dalam kenyakinan internal, perbuatan ini dapat objektif jika dapat dirasakan oleh non muslim sebagai suatu a natural atau wajar, tidak sebagai perbuatan keagamaan. Kunto mencontohkan tentang objektifisakasi ayat al Qur'an agar nilai-nilai Islam dapat diterima oleh semua umat manusia. Misalkan ancaman Tuhan kepada orang Islam sebagai orang yang mendustkan agama bila tidak memperhatikan kehidupan orang-orang miskin dapat diobjektifkan dengan program IDT. Kesetiakawanan nasional adalah objektifikasi dari ajaran tentang ukuwah. (Kutowjoyo, Identitas Politik Umat Islam).
ISP yang dilontarkan oleh Kunto diterjemahkan dari sifat ilmunya maka ISP bersifat partisipatoris untuk melakukan perubahan dan sekaligus arah dari perubahan itu sendiri. Ilmu ini serat dengan nilai-nilai, tidak status quo, dan berfihak kepada kemunisaan guna menciptakan khoirul ummat. ISP ilmu dalam aliran yang perfeksionis dan bersifat communitarian. Dalam metodologi penelitian ISP yang diharapkan penelitian lapangan dan langsung melakukan emansipasi guna menciptakan keadilan. Cara pencarian data yang dilakukan IS dengan metode wawancara dan observasi partisipatoris. ISP merupakan turunuan dari surat al Imran 110 menghasilkan tiga paradigama guna mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Tetapi masing-masing paradigama dalam ISP yang dalam memandang masyarakat bersifat integral dan menyeluruh, jika diturunkan dalam metodologi penelitian maka dapat berdiri sendiri tanpa adanya saling sapa. Kunto hanya mencoba dalam analisis dengan menggunakan ketiga paradigama tersebut, tetapi ia terkadang dalam melihat fenomena social cenderung dengan pendekatn Marxian kadang juga fungsional. Selanjutnya dalam ilmu social yang bersifat partisipatoris ada rangkaian dalam menjalankan keseimbangan antara teori dan praktek seperti dalam ilmu social kritis, dalam konsep praksisnya kerja dan komunikasi. Jika mau ditarik kedalam ISP Kunto belujm sempat merumuskannya. Tetapi jika ditelusuri dari berbagai karyanya ia mencoba mengintergrasikan ilmu social yag dari barat dengan nilai-nilai Islam. Hal ini seperti urainnya Heru Nugroho dalam menanggapi ISP yang dilontarkan oleh Kunto, ia mengatagorikan Hegelisme Religius. Serta yang membedakan konsep ISP dengan ilmu social Kritis adalah trasendensi. Kunto juga dalam melihat slam merupakan agama amal, bukannya teori saja tetapi harus diterapkan dalam masyarakat. Dari tujuan serta yang berada dalam konsep ISP dapat dilihat konsep praksis dari ISP ada merupakan praksis kerja, komuniksi dan praksis manusia sebagai mahluk Tuhan.
Praksis ISP dengan mendiologkan agama ini, dengan realiatas menjadikan agama berperan dan mengupayakan untuk melakukan transformasi dengan didasari oleh nilai-nilai agama. Transfomasi yang didasarkan oleh nilai-nilai agama menjadikan bentuk tranformasi serta arahannya jelas. Hal ini dapat dilihat bentuk transfoemasi yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan nabi Musa dalam menghilangkan penindasan umatnya dari Fir'an. Bentuk transformasi yang dilakukan menciptakan masyarakat yang berkeadilan dan didasarkan dengan nilai-nilai Ilahiah sebagai sarana dan jalan dalam rangka beribadah kepada Tuhan.
Label:
MANIFESTO INTELEKTUAL PROFETIK
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)
EVENT
MUSYAWARAH KERJA
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011
Sabtu & Ahad
4 & 5 Maret 2011
13.00 - 18.00 & 09.00 - Selesai
Ruang 204 Kampus III UAD & Wisma Damar
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011
Jum'at
4 Maret 2011
13.00 - 18.00
Ruang 303 Kampus III UAD
PELANTIKAN PIMPINAN KOMISARIT IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011
Sabtu
5 Februari 2011
16.00
Ruang 203 UAD
FROM ADMIN
Bagi teman - teman yang ingin menyumbangkan tulisan ke dalam blog ini dapat mengirimkannya ke immfarmasiuad@ymail.com.
TERIMA KASIH
TERIMA KASIH
Blog Archive
RUBRIKASI
- CERITA TENTANG GERAKAN SOSMAS (1)
- DISCUSION REVIEW (2)
- EKOSOB (1)
- FILSAFAT (2)
- IBADAH (1)
- INFO - PERS RELEASE AKSI (2)
- KEFARMASIAN (3)
- KEMUHAMMADIYAHAN (1)
- MANIFESTO INTELEKTUAL PROFETIK (11)
- PUISI (18)
- RESENSI-BEDAH BUKU (1)
- RUANG TAFAKUR (3)
- TEKS IDEOLOGI (13)
- TOKOH DAN SOSOK (2)
- WAWASAN UMUM (1)