SEBAGAI HADIAH MALAIKAT MENANYAKAN, APAKAH KAMI INGIN BERJALAN DI ATAS MEGA. DAN KAMI MENOLAK, KARENA KAKI KAMI MASIH DI BUMI SAMPAI PENYAKIT TERAKHIR DISEMBUHKAN, SAMPAI KAUM DHU`AFA DAN MUSTAD`AFIN DIANGKAT TUHAN DARI PENDERITAANNYA
Rabu, 27 Januari 2010
Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.

Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Mesir Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.

Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hi.dup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.

Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan-pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. Kemudian Hanaafi kembali disarankan oleh para anggota Ikhwanu untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Islam.

Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.

Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis.[3] Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.

Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.[4] Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. la kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah is peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk menangggapi masalah-masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.

Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Tem­ple, Amerika Serikat. Kepergiannya ke Amerika, sesungguhnya berawal dari adanya keberatan pemerintah terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia akan tetap meneruskan aktivitasnya itu atau pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya, aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antaragama dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaruan pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan buku Al-Turats wa al-Tajdid. Karya ini, saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia dihadapkan pada gerakan anti-pemerintah Anwar Sadat yang pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan Israel. la terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui ulisan-tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981. Tulisan-tulisannya itulah yang kemudian tersusun menjadi buku Al Din wa AI- Tsaurah. Sementara itu, dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun-tahun 1983-1984.

Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun 1980-1987. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar di negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam memahami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia Islam.

Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelektual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuannya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat Islam.


Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karyanya

Untuk memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya-karya Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Penode pertama berlangsung pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an.

Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme,[7] dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.

Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal theory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya un­tuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d' Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya iliniah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.

Pada fase awal pemikirannya iru, tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya. Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada.

Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970-an, Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi problema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemikiran Islam untuk menghidupkan kembafi khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl, dan Herbert Marcuse.

Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis yang berkaitan dengan sebab-sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat lslam sendiri yang lemah, dan memahami posisi Barat yang superior. Untuk yang pertama penekanan diberikan pada upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu Al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al-Istighrab (Oksidentalisme).

Pada periode ini, yaitu antara tahun-tahun 1971-1975, Hanafi juga menganalisis sebab-sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pemerintah. Pada saat yang sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada Oktober 1981. Keadaan itu membawa Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk itulah kemudian ia menulis Al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1952-1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Karya itu berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan nasional dan hubungannya dengan agama, hubungan antara agama dengan perkembangan nasioanlisme, tentang gagasan mengenai gerakan "Kiri Keagamaan" yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam, serta "Kiri Islam dan Integritas Nasional". Dalam analisisnya Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti-bukti penyebab muncul­nya berbagai tragedi politik dan, terakhir, menganalisis penyebab munculnya radikalisme Islam.

Karya-karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.

Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer.

Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas.

Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.

Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini adalah gagasan rekonstruksi ilmu kalam. Pertama-tama ia mencoba menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas. Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekomendasikan sebuah teologi atau ilmu kalam yang antroposentris, populis, dan transformatif.

Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid). Selain berisi kajian-kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hanafi juga berisi kajian-kajian ilmu sosial, seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada karya karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara dunia ketiga.

Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada dasawarsa 1970-an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paroh kedua dasawarsa 1980-an hingga sekarang.

Pandangan universalistik ini di satu sisi ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual bagi warga masyarakat; penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM, dan penguatan (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat jelata.

Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, Oksidentalisme) sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang. Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam penciptaan peradaban dunia baru dan universal.


Sekitar Pandangan Hassan Hanafi tentang Teologi Tradisional Islam

Di muka telah kita lihat, meskipun dalam beberapa hal menolak dan mengkritik Barat, Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengkatagorikan Hanafi sebagai seorang modernis-liberal, karena ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.

Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: I) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian.[19] Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.

Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan dialektika konsep-konsep tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah.

Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.

Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang memanfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, atau barangkali hanya merupakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni. Dalam konteks ini, teologi merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab suci. Ia.menegaskan, tidak ada arti-arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk setiap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah itu.

Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.

Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.

Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemendekaan, kebebasan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Teologi baru itu harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakapan. Karena itu pula harus tersusun secara kemanusiaan.

Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam memiliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketundukan; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu re­zim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.

Secara generik, istilah aslama adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan kepada apa pun yang lain. Pengertian ini secara langsung menyatakan sebuah tindakan ganda; Yaitu menolak segala kekuasaan yang tidak transendental dan menerima kekuasaan transendental. Makna ganda dari kata kerja aslama dan kata benda Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja disalahgunakan untuk mendorong Islam cenderung pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka rekonstruksi teologi tradisional itu berarti pula untuk menunjukkan aspek lain dari Islam yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni penolakan, oposisi den pergolakan yang merupakan kebutuhan aktual masyarakat muslim. Di dalam hal ini, karena selalu terkait dengan masyarakat, refleksi atas nilai-nilai universal agama pun mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan, struktur sosial dan kekuatan politik.
Keberlanjutan rezim SBY-Boediono hanya berarti mustahilnya kesejahteraan rakyat diraih!!!
Aset bangsa dibiarkan dieksploitasi untuk asing dan segelintir penguasa dan hampir - hampir tidak ada niatan untuk mengambil alihnya untuk rakyat. Rakyat kecil selalu disengsarakan. Sementara gaji dan dan kemewahan pejabat tiap hari digunjingkan kenaikannya.

Apakah hatimu bergetar ?

Saatnya menyatukan barisan!!! Mengundang kawan - kawan dalam aksi 5 tahun 100 hari SBY kamis 28 januari 2010 jam 08.30 start di Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta.

TURUNKAN SBY
Selasa, 26 Januari 2010

Konsepsi manusia dapat dilihat dari gejala / sifat – sifat dasarnya. Dalam hal ini akan coba dikelompokkan menjadi 6 buah, yaitu :


1.    keAKUan.

Setiap manusia pasti memiliki rasa keAKUan. Rasa keAKUan ini kadang disebut juga sebagai ego / nafsu. Ekspresi rasa keAKUan ini bisa berupa rasa amarah, semangat, hasrat penimbunan, bahkan muthmainah.

Dalam interaksi antara dua / lebih individu manusia pasti akan terjadi proses pengAKUan dan mengAKUi. Artinya setiap individu pasti selalu punya keinginan unuk diakui dan terkadang harus mengakui seseorang atas segala tindakannya.

Norma (Hukum, Agama, Adat) adalah segala sesuatu yang dapat menyuplai terjadinya proses pengAKUan dan mengAKUi sehingga tidak akan terjadi pertentangan – pertentangan antara 2 / lebih individu/kelompok.


2.    keTAHUan.

Rasa keTAHUan inilah salah satu pembeda kita dengan hewan. Seperti kita lihat disekitar kita apabila seekor hewan tidak mengetahui sesuatu maka karena keterbatasan akalna dia tidak akan berusaha mencari tahu. Ini berbeda dengan seorang manusia dimana apabila dia mengalami keTIDAK TAHUan maka manusia dengan ilmu yang dimilik atau dikembangkan oleh akalnya akan segera mencari tahu bahkan dari pencariannya tersebut ia bisa menCIPTA.

Karena itulah seseorang manusia selalu berusaha memenuhi suplai keINGIN TAHUannya dengan berbagai cara apakah dengan sekolah, membaca, meneliti, berpikir, dsb.


3.    keINGINan.

Keinginan juga adalah salah satu pembeda kita dengan hewan. Sekor hewan akan selalu mempunyai keinginan yang ajeg (tetap) seperti kebutuhan seks dan makan. Sedangkan manusia mempunyai banyak keinginan yang berbanding lurus dengan kebutuhan atau gaya hidup yang berkembang, seperti teknologi, budaya, dan popularitas.

Seperti kita ketahui setiap manusia pasti mempunyai banyak keinginan, tapi sudah pasti segala keinginan itu tidak bisa semuanya dipenuhi karena terbentur dengan “realita” sehingga akan terjadi eliminasi – eliminasi dan mengkerucut menjadi KEHENDAK dan dari kehendak inilah keinginan ini akan direalisasikan langsung atau terencana.


4.    Moral.

Moral disini berfungsi sebagai pembatas manusia yang membatasi keinginan dan rasa keakuan. Moral disini bersifat konstruktif (membangun) yang membuat individu menjadi lebih baik dalam hal ini lebih bisa mengendalikan diri.

Moral disini banyak dipengaruhi oleh lingkungan yang mengakibatkan kecenderungan terhadap suatu “world view”. Pengaruh lingkungan terhadap “worldview” ini sangat dipengaruhi oleh ketahanan berpikira dan pola pikir dari seseorang.

Dalam islam kita lebih mengenal moral dengan akhlak yang dalam hal ini moral itu disandarkan oleh landasan wahyu.


5.    Berbudaya.

Budaya selalu ada disetiap kehidupan manusia. Budaya sendiri tercipta atas tuntutan manusia untuk mendapatkan kehidupan yang enak / mudah.

Setiap manusia disetiap zamannya pada masing – masing kelompoknya akan selalu menciptakan kebudayaan. Ini dikarenakan setiap manusia dimodali dengan kecerdasan, Kemampuan mengingat (memori), Kretifitas, Dan kemampuan meramal (bepikir kedepan /  visioner).

Salah satu bentuk budaya itu beuapa IPTEK (budaya bentuk materi) dan konsep – konsep (budaya bentuk imateri)


6.    Bertahan Hidup.

Setiap manusia pasti ingin mempertahankan hidupnya agar bisa hidup lebih lama. Mereka melakukan berbagai cara bisa dengan modifikasi bentuk badan (teori evolusi Darwin) ataupun memodifikasi kehidupan (menciptakan gaya hidup sehat).


Ciri – ciri manusia diatas adalah cirri – cirri dari seseoang manusia yang dapat kita lihat secara langsung disekitar kita. Selain cirri – ciri diatas wahyu allah (al qur`an) juga mengungkapkan cirri – cirri / sifat dasar manusia, yaitu :

1. Selalu Mencari tuhan / ada rasa ingin bertuhan.

2. Selalu menghadapi (entah dilawan atau diikuti) perubahan.

3. Menjadi wakil tuhan dimuka bumi (khilafah dimuka bumi), dimana dia menjadi penguasa bumi.

A.  AGAMA

1.    Agama ialah agama Islam Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Quran dan yang tersebut dalam sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akherat.

2.   Agama ialah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara Nabi-Nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk – petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akherat.


B.  DUNIA

   Yang dimaksud "urusan dunia" dalam sabda Rasulullah SAW.: "Kamu lebih mengerti urusan duniamu" ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara – perkara / pekerjaan – pekerjaan / urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia).


C.  IBADAH

Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan menta'ati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan meng'amalkan segala yang diidzinkan Allah.

Ibadah itu ada, yaitu yang umum (ialah segala 'amalan yang diidzinkan Allah) dan ada yang khusus (ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian - perinciannya, tingkah dan cara – caranya yang tertentu)


D.  SABILILAH

1.  Setelah persoalan qiyas dibicarakan dalam waktu tiga kali sidang,dengan mengadakan tiga kali pemandangan umum dan satu kali tanya-jawab antara kedua belah pihak;

2.   Setelah mengikuti dengan teliti akan jalannya pembicaraan dan alasan – alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, dan dengan MENGINSYAFI bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekedar mentarjihkan diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak berarti menyalahkan pendapat yang lain.

Memutuskan : 

a)   Bahwa DASAR muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadits.

b)   Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdlah padahal untuk alas an atasnya tiada terdapat nash sharih di dalam Al-Quran atau Sunnah Shahihah, maka dipergunakan alasan dengan jalan Ijtihad dan Istinbath daripada Nash-nash yang ada, melalui persamaan 'illat; sebagaimana telah dilakukan oleh 'ulama-'ulama Salaf dan Khalaf.

1.    HAKEKAT MUHAMMADIYAH

          Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat, di antaranya bidang sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia. Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya, ialah masyarakat; sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: “Menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Di dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan di atas prinsip gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah”. Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.

2.    MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT

          Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Da’wah Jama‘ah. Di samping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal usaha seperti tersebut pada Anggaran Dasar pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan mutunya. Penyelenggaraan amal usaha tersebut merupakan sebagai ikhtiar Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-cita Hidup yang bersumberkan ajaran Islam, dan bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

3.    MUHAMMADIYAH DAN POLITIK

          Dalam bidang politik, Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: “dengan da’wah amar ma’ruf nahi munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang ber-Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridhai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu Muhammadiyah tetap berpegang teguh kepada kepribadiannya.” Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian gerakannya dalam masyarakat, dan dilaksanakan berdasar landasan dan peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah. Dalam hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa:

a.    Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.

b.    Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muham­madiyah.

4.    MUHAMMADIYAH DAN UKHUWAH ISLAMIYAH.

          Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam serta membela kepentingannya. Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya.

5.    DASAR PROGRAM MUHAMMADIYAH

          Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut:

1      Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh, ta‘at beribadah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.

2      Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajiban sebagai warganegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan dan kesulitan hidup masyarakat.

3      Menepatkan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

 

SUMBER : Keputusan Muktamar 37 (Makasar,1971) yang disempurnakan pada muktamar 40 (Surabaya,1978) 

SEJARAH DIRUMUSKANNYA KEPRIBADIAN MUHAMMADIYAH

          “Kepribadian Muhammadiyah” ini timbul pada waktu Muhammadiyah dipimpin oleh Bapak Kolonel H.M. Yunus Anis, ialah pada periode 1959-1962.

          “Kepribadian Muhammadiyah” ini semula berasal dari uraian Bapak H. Faqih Usman, sewaktu beliau memberikan uraian dalam suatu latihan yang diadakan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada saat itu almarhum KH. Faqih Usman menjelaskan bahasan yang berjudul: “Apa sih Muhammadiyah itu?”.

          Kemudian oleh Pimpinan Pusat dimusyawarahkan bersama-sama Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur (HM. Saleh Ibrahim), Jawa Tengah (R. Darsono), dan Jawa Barat (H. Adang Afandi). Sesudah itu disempurnakan oleh suatu Tim yang antara lain, terdiri dari: KH. Moh.Wardan, Prof. KH. Farid Ma’ruf, M. Djarnawi Hadikusuma, M. Djindar Tamimy; kemudian turut membahas pula Prof.H. Kasman Singodimejo SH. di samping pembawa prakarsa sendiri KH. Faqih Usman.

          Setelah urusan itu sudah agak sempurna, maka diketengahkan dalam Sidang Tanwir menjelang Muktamar ke 35 di Jakarta (Muktamar Setengah Abad). Dan di Muktamar ke-35 itulah “Kepribadian Muhammadiyah” disahkan setelah mengalami usul-usul penyempurnaan. Dengan demikian maka rumusan “Kepribadian Muhammadiyah” ini adalah merupakan hasil yang telah disempurnakan dalam Muktamar ke-35 setengah abad -pada tahun 1962, akhir periode pimpinan HM. Yunus Anis.

APAKAH KEPRIBADIAN MUHAMMADIYAH ITU

          Sesungguhnya kepribadian Muhammadiyah itu merupakan ungkapan dari kepribadian yang memang sudah ada pada Muhammadiyah sejak lama berdiri. KH. Faqih Usman pada saat itu hanyalah mengkonstantir -meng-idhar-kan apa yang telah ada; jadi bukan merupakan hal-hal yang baru dalam Muhammadiyah. Adapun mereka yang menganggap bahwa Kepribadian Muhammadiyah sebagai perkara yang baru, hanyalah karena mereka mendapati Muhammmadiyah sudah tidak dalam keadaan yang sebenarnya.

          K.H. Faqih Usman sebagai seorang yang telah sejak lama berkecimpung dalam Muhammadiyah, sudah benar-benar memahami apa sesungguhnya sifat-sifat khusus (ciri-ciri khas) Muhammadiyah itu. Karena itu kepada mereka yang berlaku tidak sewajarnya dalam Muhammadiyah, beliaupun dapat memahami dengan jelas.

          Yang benar-benar dirasakan oleh almarhum ialah bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, berdasar Islam, menuju terwujudnya masayarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala, bukan dengan jalan politik, bukan dengan jalan ketatanegaraan, melainkan dengan melalui pembentukan masyarakat, tanpa memperdilikan bagamana struktur politik yang manguasainya; sejak zaman Belanda, zaman militerisme Jepang, dan samapai zaman kemerdekaan Republik Indonesia. Muhammadiah tidak buta politik, tidak takut politik,

tetapi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Muhammadiyah tidak mencampuri soal-soal politik , tetapi apabila soal-soal politik masuk dalam Muhammadiyah, ataupun soal-soal politik mendesak-desak urusan Agama Islam, maka Muhammadiyah akan bertindak menurut kemampuan, cara dan irama Muhammadiyah sendiri.

          Sejak partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh presiden Sukarno, maka warga Muhammadiyah yang selama ini berjuang dalam medan politik praktis, mereka masuk kembali dalam Muhammadiyah. Namun karena sudah terbiasa dengan perjuangan cara politik, maka dalam mereka berjuang dana beramal dalam Muhammadiyah pun masih membawa cara dana nada politik cara partai.

          Oleh almarhum K.H. Faqih Usman dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada saat itu, cara-cara demikian dirasakan sebagai cara yang dapat merusak nada dan irama

Muhammadiyah.

          Muhammadiyah telah mempunyai cara perjuangan yang khas. Muhammadiyah bergerak bukan untuk “Muhammadiyah’ sebagai golongan. Muhammadiyah bergerak dan berjuang untuk tegaknya Islam, untuk kemenangan kalimah Allah, untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala. Hanya saja Islam yang digerakkan oleh Muhammadiyah adalah Islam yang sajadah, Islam yang lugas (apa adanya), Islam yang menurut

Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw; dana menjalankannya dengan menggunakan akal pikirannya yang sesuai dengan ruh Islam.

          Dengan demikian, perlu difahamkan kepada warga Muhammadiyah: apakah Muhammadiyah itu sebenarnya dan bagaimana cara membawa/menyebarluaskannya. Menyebarkan faham Muhammadiyah itu pada hakekatnya menyebarluaskan Islam yang sebenar-benarnya; dan oleh karena itu, cara menyebarkannya pun kita perlu mengikuticara-cara Rasulullah saw menyebarkan Islam pada awal pertumbuhannya.

MEMAHAMI KEPRIBADIAN MUHAMMADIYAH

          Memahami Kepribadian Muhammadiyah berarti:

1.    Memahami apa sebenarnya Muhammadiyah.

2.    Karena Muhammadiyah ini sebagai organisasi, sebagai suatu persyarikatan yang beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah, maka perlu pula difahami, Islam yang bagaimanakah yang hendak ditegakkan dan dijunjung tinggi itu, mengingat telah banyak kekaburan kekaburan dalam Islam di Indonesia ini. Dan hal ini pulalah yang hendak dipergunakan untuk mendasari atau menjiwai segala amal usaha Muhammadiyah sebagai organsisasi.

3.    Kemudian dengan sifat-sifat dan cara-cara yang kita contoh atau kita ambil dari bagaimana sejarah da’wah Rasulullah yang mula-mula dilaksanakan, itu pulalah yang kita jadikan sifat gerak da’wah Muhammadiyah, dengan kita sesuaikan pada keadaan dan kenyataan kenyataan yang kita hadapi.

KEPADA SIAPA KEPRIBADIAN MUHAMMADIYAH

KITA PIMPINKAN / BERIKAN

          Seperti telah kita uraikan di atas, bahwa Kepriba-dian Muhammadiyah ini pada dasarnya adalah memberikan pengertian dan kesadaran kepada warga kita, agar mereka itu tahu tugas kewajibannya, tahu sandaran atau dasar-dasar beramal-usahanya, juga tahu sifat-sifat atau bentuk/irama bagaimana mereka bertindak/bersikap pada saat melaksanakan tugas kewajibannya.

CARA MEMBERIKAN ATAU MENUNTUNKAN

Tidak ada cara lain dalam memberikan atau menuntunkan Kepribadian Muhammadiyah ini, kecuali harus dengan teori dan praktek penanaman pengertian dan pelaksanaan.

1.    Penandasan atau pendalaman pengertian tentang da’wah atau bertabligh.

2.    Menggembirakan dan memantapkan tugas berda’wah. Tidak merasa rendah diri (minder-waardig - Bld) dalam menjalankan da’wah; namun tidak memandang rendah kepada yang bertugas dalam lapangan lainnya (politik, ekonomi, seni-budaya dan lain-lain).

3.    Keadaan mereka -para warga- hendaklah ditugaskan dengan tugas yang tentu-tentu, bukan hanya dengan sukarela. Bila perlu dilakukan dengan suatu ikatan, misalnya dengan perjanjian, dengan bai’at dan lainlain.

4.    Sesuai dengan masa itu, perlu dilakukan dengan musyawarah yang sifatnya mengevaluasi tugas-tugas itu. Sesuai dengan suasana sekarang, perlu pula dilakukan dengan formalitas yang menarik, yang tidak melanggar hukum-hukum agama dan juga dengan memberikan bantuan logistik.

5.    Pimpinan Cabang, Ranting bersama-sama dengan anggota-anggotanya memusyawarahkan sasaran-sasaran yang dituju, bahan-bahan yang perlu dibawakan dan membagi petugas-petugas sesuai dengan kemampuan dan sasarannya.

6.    Pada musyawarah yang melakukan evaluasi, sekaligus dapat ditambahkan bahan-bahan atau bekal yang diperlukan, yang akan dibagikan kepada para warga selaku muballigh dan muballighot.

 SUMBER ; Pedoman Bermuhammadiyah

EVENT

MUSYAWARAH KERJA
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011


Sabtu & Ahad
4 & 5 Maret 2011
13.00 - 18.00 & 09.00 - Selesai
Ruang 204 Kampus III UAD & Wisma Damar

UP-GRADING
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011


Jum'at
4 Maret 2011
13.00 - 18.00
Ruang 303 Kampus III UAD

PELANTIKAN PIMPINAN KOMISARIT IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH FAKULTAS FARMASI PERIODE 2010/2011


Sabtu
5 Februari 2011
16.00
Ruang 203 UAD

FROM ADMIN

Bagi teman - teman yang ingin menyumbangkan tulisan ke dalam blog ini dapat mengirimkannya ke immfarmasiuad@ymail.com.
TERIMA KASIH

Blog Archive